Sabtu, 16 Februari 2019

Kisah Sukses : Apakah Eq Atau Kecerdasan Emosi Itu?

Tulisan ini merupakan lanjutan dari postingan Kisah Dua Orang Pegawai yang telah saya tulis sebelumnya. Hanya merupakan klarifikasi saja perihal apa yang disebut kecerdasan Emosional dan bagaimana cara melatihnya sehingga kita bisa berinteraksi dengan lingkungan dan juga masyarakat yang beraneka ragam yang tentunya bertujuan menyebabkan kita insan yang tak hanya hanya pintar secara intelektual (IQ) tetapi cerdas secara emosi (EQ) dan sanggup mengelola EQ secara sempurna untuk hidup yang lebih baik. Kemampuan mengelola emosi inilah sebetulnya yang jarang kita perhatikan dan kita latih alasannya ialah sudah menjadi sifat dasar insan yang cenderung mengedepankan ego, sulit mendapatkan kritik tapi gampang jikalau mengkritisi orang lain.

Daniel Goleman (1999) menyampaikan bahwa EQ merujuk pada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi secara tepat. EQ akan saling melengkapi dengan Kecerdasan Intelegensi (IQ) sebagaimana yang sudah kita kenal. Walaupun demikian, keduanya tidak selalu berjalan secara paralel. Tidak semua individu yang mempunyai IQ yang menonjol akan mempunyai EQ yang menonjol pula.

Selanjutnya, Goleman juga memberi istilah Kecakapan Emosi, sebagai hasil mencar ilmu yang didasarkan pada Kecerdasan Emosi. Kecakapan Emosi sendiri, menurutnya dibagi dalam dua hal: Kecakapan pribadi dan Kecakapan sosial. Kecakapan pribadi akan memilih bagaimana kita mengatur diri sendiri, dimana hal ini meliputi kesadaran diri (self awareness), pengaturan diri (self regulation), dan motivasi (motivation). Sedangkan Kecakapan sosial sangat berperan ketika kita berafiliasi dengan orang lain, diantaranya meliputi tenggang rasa (emphaty) dan keterampilan sosial (social skill).
Seorang pegawai yang mempunyai kecakapan emosi yang menonjol akan memunculkan tingkah laris kerja yang “smart” (cerdas), terutama dalam berafiliasi dengan orang lain. Dia akan menyadari posisinya dikala ini serta bisa memimpin dirinya sendiri dalam menuntaskan pekerjaannya, sekalipun pimpinannya tidak ada di tempat. Cara beliau menjalin relasi, baik dalam hubungannya dengan pekerjaan maupun pertemanan, memperlihatkan cara pengelolaan diri (self management) yang proporsional.

Seorang pemimpin yang mempunyai kecakapan emosi proporsional akan bisa “membagi hidup” kepada pengikutnya sebagai model yang efektif untuk menggerakkan roda organisasi atau unit kerja. Kemampuannya memimpin diri sendiri secara tidak pribadi menjadi teladan yang efektif bagi pengikutnya untuk menemukan hikmah perihal bagaimana cara pemberdayaan diri yang optimal. Pemimpin yang mempunyai kecakapan emosi yang menonjol akan lebih banyak bekerja daripada sekadar memerintah atau sibuk dengan disposisi yang tidak terarah. Pemimpin yang ber-EQ optimal juga bisa mengendalikan diri dengan proporsional dan mementingkan kepentingan staf serta organisasinya.

Para hebat menemukan bahwa sistem teladan asuh ternyata banyak memperlihatkan bantuan bagi perkembangan kecerdasan emosi seseorang. Di samping itu, faktor kegagalan-kegagalan yang bertubi-tubi juga turut mempengaruhi EQ seseorang. Faktor lingkungan, dimana yang bersangkutan hidup dan berelasi, ternyata sangat memberi warna terhadap kecerdasan emosi seseorang.

Penilaian EQ tentu menjadi satu hal yang angker bagi seorang karyawan sehabis beliau menyadari bahwa EQ-nya tidak terlalu menonjol. Apalagi ketika tuntutan EQ menjadi fokus utama dalam pemberdayaan karyawan, baik dalam rangka jenjang karier maupun pengembangan pribadi. Namun, satu hal yang paling berbahaya ialah ketika seseorang tidak menyadari bahwa EQ-nya sangat dangkal dan gembira dengan gelar, pengetahuan, atau jabatan yang dimilikinya.

Oleh alasannya ialah itu, perlu beberapa langkah simpel untuk membangkitkan Kecerdasan Emosi menuju Kecakapan Emosi yang maksimal. EQ tidak ada yang permanen, dalam arti kata sanggup diubah (ditingkatkan). Inilah tekad untuk memulai langkah pertama, yakni mengenal kekuatan dan kelemahan diri terutama dalam berafiliasi dengan orang lain. Beberapa cara sanggup dilakukan, diantaranya dengan meminta feedback (umpan balik) dari orang lain-terutama rekan terdekat-tentang tingkah lakunya selama ini. Tingkah laris yang sudah proporsional dipertahankan dan ditingkatkan, sedangkan yang dirasa kurang dan tidak proporsional sebagai seorang karyawan atau pimpinan tentu harus diubah.

Selanjutnya ialah membiasakan diri berlatih, bertemu, dan berelasi dengan banyak orang dari banyak sekali latar belakang dan karakter. Kerapkali kita terjebak untuk membina kekerabatan dengan orang-orang yang sepaham, bebas konflik, dan alergi terhadap perbedaan pendapat. Padahal, semakin sering kita berelasi dengan orang lain, maka kita semakin terlatih untuk menyadari siapa diri kita ditengah-tengah lingkungan yang beraneka ragam tsb. Kemudian yang terakhir ialah dengan mencar ilmu memimpin diri sendiri sebelum kelak kita memimpin orang lain.


0 komentar:

Posting Komentar

Terimakasih atas kunjungan kalian semua.
Silahkan tinggalkan komentar anda dengan baik dan sopan.
Silahkan berikan saran dan kritik untuk membangun blog ini jauh lebih baik.
terimakasih

Baca Juga

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
close
Banner iklan   disini