Profil Pengusaha Heri Susanto
Ternyata potensi wirausaha gula merah Sumatra sangat menjanjikan. Pengusaha gula merah Sumatra ini aslinya Lampung Timur sukses menjadi produsen sekaligus distributor. Dia memasok kebutuhan gula merah di Provinsi Lampung dan Palembang, Sumatra Selatan.
Pengusaha Heri Susanto mempunyai lebih dari 250 orang petani penderes gula merah dan 25 biro gula merah, Heri bisa memasarkan sekitar 20 ton gula merah per minggu. Total omzet usahanya dalam sebulan mencapai Rp 500 juta–Rp 600 juta, dengan keuntungan higienis sekitar 30%.
Tapi, sukses tersebut bukanlah hal gampang di awalnya.
Pria asal Banyuwangi, Jawa Timur ini harus merantau dan bekerja keras berbisnis dari nol. Sebelum menjadi pengepul gula merah, ia pernah mengerjakan tempe. Bisnis yang ditekuni hingga mempunyai istri dan anak di 1998.
Suatu hari, ketika Heri berjalan keliling pasar di Lampung Timur, ia melihat seorang biro gula merah yang mendistribusikan barang dagangannya di pasar. Kebetulan, undangan gula merah di Lampung dan kawasan sekitarnya cukup besar.
Pengusaha Gula Merah Sumatra
Prospeknya cukup cantik pikirnya. Dia melihat bisnis ini menarik dan masih sedikit pengepul gula merah. Makara ia tertarik menekuni, dan menentukan meninggalkan bisnis sebelumnya. Dari tahun 2000, Heri mulai berkeliling Lampung Timur untuk mengumpulkan gula merah petani alias para penderes.
"Saat itu saya bisa mengumpulkan hingga 70 kilogram per hari," ujarnya.
Perlu diketahui, harga gula merah ketika itu masih sekitar Rp 2.000 per kg. Maka dalam sehari, ia bisa mengumpulkan omzet Rp 100.000–Rp 140.000. Adapun keuntungan yang diperoleh hanya Rp 200–Rp 300 per kg. Dia pun terus terpacu untuk meningkatkan skala usahanya, perluasan bahasa kerennya.
Pengusaha gula merah Sumatra ini mulai dengan segera meningkatkan kualitas barang. Dia tak segan menggadaikan sepeda motor. Maklum, jikalau ia ingin mengumpulkan lebih banyak gula, maka modalnya juga harus semakin banyak.
Agar para penderes barunya itu tidak lari ke pengepul lain, ia kadang membayar di muka. Dengan sistem itu, ia berhasil menggaet lima orang penderes yang rutin memasok gula merah. Setiap minggu, para penderes memasok 3 ton–4 ton gula merah.
Seiring meningkatnya jumlah gula merah yang ia jual, Heri pun mulai mempunyai biro gula merah, sehingga tak perlu bersusah payah mengumpulkan gula merah sendiri. Untuk bertahan dari bisnisnya ini, Heri tak mau hanya setengah- setengah, ia harus menjadi pengepul besar.
Dia harus menjaring lebih banyak biro dan penderes gula merah. Namun, itu butuh modal yang lebih besar untuk berhubungan dengan lebih banyak agen. Sampai akhirnya, ia diajak temannya mengajukan dukungan ke PT Sarana Ventura Lampung (SLV).
Wirausaha gula merah Sumatra menjanjikan. Sayangnya hambatan utama ialah keterbatasan modal. Bahwasanya semakin besar bisnis semakin butuh modal. Modal ini dipakai untuk merangkul lebih banyak biro dan penderes gula merah yang ikut bekerja sama.
Permasalahannya, mencari modal suplemen itu bisa sangat sulit. "Bisnis saya ketika itu tidak terlihat menarik di mata perbankan," ungkapnya kepada pewarta. Untunglah seorang sobat ikut membantunya menghimpun pinjaman. Permohonan kreditnya dikabulkan sesudah melalui negosiasi.
Pencairan dukungan dilakukan secara sedikit demi sedikit tidak langsung. Mula- mula Heri menerima dana Rp 300 juta pada 2007, hingga secara sedikit demi sedikit naik menjadi Rp 500 juta di tahun 2013. Adapun untuk nilai bunga dukungan berkisar mulai 12% hingga 13% per tahun.
Suntikan modal itu lah pemacu semangat membesarkan bisnis. Uang dukungan eksklusif ia salurkan lagi sebagai modal bagi para biro dan penderes gula merah. Kendati telah mempunyai modal cukup tetap ada penderes lain yang menentukan menjual kepada pengepul lain.
Pria 43 tahun ini tetap hening menentukan mengedepankan proses kekeluargaan. Pengusaha gula merah Sumatra ini tetap merangku mereka, dan lebih menentukan mencoba mengetahui hambatan yang mereka lalui. "Jika masih sulit dan nakal, mau tidak mau saya putus kekerabatan kerja," ujarnya.
Hingga ketika ini, Heri telah mempunyai sekitar 25 agensi gula merah, yang tersebar di Lampung Timur. Itu antara lain di kawasan Taman Sari, Simpang Agung, Way Jepara, Wono Sari, Braja Sakti, Braja Selebah, dan Sidomulyo.
Setiap biro rata- rata mempunyai 10 penderes gula merah. Satu minggu, ia berhasil mengumpulkan 20 ton gula merah. Total omzet diperoleh dalam sebulannya mencapai Rp 500 juta hingga Rp 600 juta, dengan keuntungan higienis 30%.
Hampir seluruh pasar induk di Lampung Timur dan juga sebagian wilayah di Palembang menampung gula merah dagangan Heri. Ia juga memasok gula merah untuk salah satu pabrik kecap nasional. Sekarang Heri Susanto benar- benar menjadi juragan gula merah dari Lampung.
Saat ini, Heri memang gres memasarkan gula merah di wilayah Lampung Timur dan juga sebagian wilayah Sumatra Selatan. Heri sengaja tidak membidik Pulau Jawa alasannya produk gula merah asal Lampung masih kalah kualitas ketimbang gula merah jawa.
"Saya pernah mencoba ke pasar Jawa. Tapi kualitas gula lampung masih di bawah gula jawa, sehingga kalah bersaing," katanya.
Heri berujar lagi potensi pasar Sumatra memang masih sangat luas, dan masih bisa ditopang oleh Lampung sebagai sumbernya.
Untuk menjangkau luas di penjuru Sumatra, tentu butuh pasokan gula merah lebih besar dari apa yang telah diusahakan. Kini, Heri memasarkan sekitar 20 ton gula merah per minggunya. Gula merah itu diperoleh dari 25 biro gula merah hasil binaannya.
Setiap biro membawahi rata-rata 10 penderes gula merah di Lampung Timur. 20 ton gula merah itu kemudian dipasok ke pasar induk di Lampung Timur hingga sebagian kawasan Sumatra Selatan, ibarat Prabumulih, Baturaja, Ogan Ilir, dan Ogan Komering Ulu.
Memang sekarang perasaingan antar pengepul gula merah sangatlah ketat. "Jika mereka nakal, saya coba menasihati dan tetap berkomunikasi," ujarnya. Menurut Heri, penting menjaga kekerabatan baik dengan biro dan penderes.
Di samping mendistribusikan gula merah ke pasar-pasar, Heri juga memenuhi pasokan gula untuk produsen kecap mereka ABC.
Namun, langkah memasok gula ke pabrik kecap ini gotong royong hanya untuk cadangan bila undangan gula merah di pasar sedang turun. Selain bisnis gula merah, Heri juga mulai merambah distribusi kerupuk emping melinjo semenjak 2013 lalu.
Harga 1 kilogram (kg) emping bisa mencapai Rp 32.000. Dalam seminggu, ia bisa memasok 200 kg dengan profit Rp 2.000–Rp 3.000 per kg. Menurutnya, pasokan emping melinjo belum tinggi alasannya materi baku melinjo masih terbatas.
Saat ini, pengusaha menggandeng lima perajin emping melinjo di Kota Panjang, Bandar Lampung. Setiap perajin sanggup memasok 30 kg–40 kg per tiga hari. Emping melinjo ini distribusikan ke Kota Palembang.
"Saat itu saya bisa mengumpulkan hingga 70 kilogram per hari," ujarnya.
Perlu diketahui, harga gula merah ketika itu masih sekitar Rp 2.000 per kg. Maka dalam sehari, ia bisa mengumpulkan omzet Rp 100.000–Rp 140.000. Adapun keuntungan yang diperoleh hanya Rp 200–Rp 300 per kg. Dia pun terus terpacu untuk meningkatkan skala usahanya, perluasan bahasa kerennya.
Pengusaha gula merah Sumatra ini mulai dengan segera meningkatkan kualitas barang. Dia tak segan menggadaikan sepeda motor. Maklum, jikalau ia ingin mengumpulkan lebih banyak gula, maka modalnya juga harus semakin banyak.
Agar para penderes barunya itu tidak lari ke pengepul lain, ia kadang membayar di muka. Dengan sistem itu, ia berhasil menggaet lima orang penderes yang rutin memasok gula merah. Setiap minggu, para penderes memasok 3 ton–4 ton gula merah.
Seiring meningkatnya jumlah gula merah yang ia jual, Heri pun mulai mempunyai biro gula merah, sehingga tak perlu bersusah payah mengumpulkan gula merah sendiri. Untuk bertahan dari bisnisnya ini, Heri tak mau hanya setengah- setengah, ia harus menjadi pengepul besar.
Dia harus menjaring lebih banyak biro dan penderes gula merah. Namun, itu butuh modal yang lebih besar untuk berhubungan dengan lebih banyak agen. Sampai akhirnya, ia diajak temannya mengajukan dukungan ke PT Sarana Ventura Lampung (SLV).
Wirausaha Gula Merah Sumatra Menjanjikan
Wirausaha gula merah Sumatra menjanjikan. Sayangnya hambatan utama ialah keterbatasan modal. Bahwasanya semakin besar bisnis semakin butuh modal. Modal ini dipakai untuk merangkul lebih banyak biro dan penderes gula merah yang ikut bekerja sama.
Permasalahannya, mencari modal suplemen itu bisa sangat sulit. "Bisnis saya ketika itu tidak terlihat menarik di mata perbankan," ungkapnya kepada pewarta. Untunglah seorang sobat ikut membantunya menghimpun pinjaman. Permohonan kreditnya dikabulkan sesudah melalui negosiasi.
Pencairan dukungan dilakukan secara sedikit demi sedikit tidak langsung. Mula- mula Heri menerima dana Rp 300 juta pada 2007, hingga secara sedikit demi sedikit naik menjadi Rp 500 juta di tahun 2013. Adapun untuk nilai bunga dukungan berkisar mulai 12% hingga 13% per tahun.
Suntikan modal itu lah pemacu semangat membesarkan bisnis. Uang dukungan eksklusif ia salurkan lagi sebagai modal bagi para biro dan penderes gula merah. Kendati telah mempunyai modal cukup tetap ada penderes lain yang menentukan menjual kepada pengepul lain.
"Modalnya dipakai untuk kebutuhan biaya hidup penderes, ada pula yang saya belikan kendaraan beroda empat semoga para biro dan penderes bisa loyal," ujarnya.
Pria 43 tahun ini tetap hening menentukan mengedepankan proses kekeluargaan. Pengusaha gula merah Sumatra ini tetap merangku mereka, dan lebih menentukan mencoba mengetahui hambatan yang mereka lalui. "Jika masih sulit dan nakal, mau tidak mau saya putus kekerabatan kerja," ujarnya.
Hingga ketika ini, Heri telah mempunyai sekitar 25 agensi gula merah, yang tersebar di Lampung Timur. Itu antara lain di kawasan Taman Sari, Simpang Agung, Way Jepara, Wono Sari, Braja Sakti, Braja Selebah, dan Sidomulyo.
Setiap biro rata- rata mempunyai 10 penderes gula merah. Satu minggu, ia berhasil mengumpulkan 20 ton gula merah. Total omzet diperoleh dalam sebulannya mencapai Rp 500 juta hingga Rp 600 juta, dengan keuntungan higienis 30%.
Hampir seluruh pasar induk di Lampung Timur dan juga sebagian wilayah di Palembang menampung gula merah dagangan Heri. Ia juga memasok gula merah untuk salah satu pabrik kecap nasional. Sekarang Heri Susanto benar- benar menjadi juragan gula merah dari Lampung.
Pengusaha Wirausaha Mandiri
Saat ini, Heri memang gres memasarkan gula merah di wilayah Lampung Timur dan juga sebagian wilayah Sumatra Selatan. Heri sengaja tidak membidik Pulau Jawa alasannya produk gula merah asal Lampung masih kalah kualitas ketimbang gula merah jawa.
"Saya pernah mencoba ke pasar Jawa. Tapi kualitas gula lampung masih di bawah gula jawa, sehingga kalah bersaing," katanya.
Heri berujar lagi potensi pasar Sumatra memang masih sangat luas, dan masih bisa ditopang oleh Lampung sebagai sumbernya.
Untuk menjangkau luas di penjuru Sumatra, tentu butuh pasokan gula merah lebih besar dari apa yang telah diusahakan. Kini, Heri memasarkan sekitar 20 ton gula merah per minggunya. Gula merah itu diperoleh dari 25 biro gula merah hasil binaannya.
Setiap biro membawahi rata-rata 10 penderes gula merah di Lampung Timur. 20 ton gula merah itu kemudian dipasok ke pasar induk di Lampung Timur hingga sebagian kawasan Sumatra Selatan, ibarat Prabumulih, Baturaja, Ogan Ilir, dan Ogan Komering Ulu.
"Saya sangat bergantung pada biro dan penderes," ungkapnya kepada pewarta Kontan.comMenurutnya ada saja duduk kasus yang tak bisa dihindari. Misalnya, ketika biro atau penderes sedang sakit, kondisi itu akan menciptakan pasokan gula merah menjadi berkurang. Ada juga para penderes bandel yang menjual gula merah ke pengepul lain.
Memang sekarang perasaingan antar pengepul gula merah sangatlah ketat. "Jika mereka nakal, saya coba menasihati dan tetap berkomunikasi," ujarnya. Menurut Heri, penting menjaga kekerabatan baik dengan biro dan penderes.
Di samping mendistribusikan gula merah ke pasar-pasar, Heri juga memenuhi pasokan gula untuk produsen kecap mereka ABC.
"Sekitar 50% untuk pasar, dan 50% lagi untuk pabrik kecap," ujarnya.
Namun, langkah memasok gula ke pabrik kecap ini gotong royong hanya untuk cadangan bila undangan gula merah di pasar sedang turun. Selain bisnis gula merah, Heri juga mulai merambah distribusi kerupuk emping melinjo semenjak 2013 lalu.
"Omzet dan profitnya lebih tinggi dari gula merah," sebutnya.
Harga 1 kilogram (kg) emping bisa mencapai Rp 32.000. Dalam seminggu, ia bisa memasok 200 kg dengan profit Rp 2.000–Rp 3.000 per kg. Menurutnya, pasokan emping melinjo belum tinggi alasannya materi baku melinjo masih terbatas.
Saat ini, pengusaha menggandeng lima perajin emping melinjo di Kota Panjang, Bandar Lampung. Setiap perajin sanggup memasok 30 kg–40 kg per tiga hari. Emping melinjo ini distribusikan ke Kota Palembang.