Entah kebetulan atau tidak, atau mungkin ada petunjuk magis dan mistis, konstelasi politik Indonesia khususnya menghadapi pemilu 2019 dan calon presiden beserta wakil presiden, kawah candradimukanya ada di Bogor; Batu Tulis, Garudayaksa Hambalang dan Cikeas. Orangpun mahfum ketiga ïstana ini, Batu Tulis menempel pada Megawati Soekarno Putri, Garudayaksa milik Prabowo Subiyanto dan Cikeas milik SBY.
Tepat 30 hari jelang penentuan nama-nama calon presiden dan wakil presiden yang harus di setorkan kepada KPU, hasil pengamatan banyak sekali informasi sebelumnya ihwal mulai mengerucut arah politik dan pinjaman setiap partai politik akseptor pemilu 2019. Salah satu yang menarik (seperti pada goresan pena aku sebelumnya) ialah Poros Ketiga.
Baca : Peluang Poros Ketiga pada pemilu 2019 Bagian 2
Baca : Peluang Poros Ketiga pada pemilu 2019 Bagian 2
Meskipun kondisi politik masih sangat cair dan kemungkinan segala prediksi dan analisa sanggup salah, mengejutkan, sebab penentuan capres dan cawapres seringkali terjadi pada masa Ãnjury time’ atau ‘last minutes’,. Penentuan siapa capres dan cawapres hasil dari perseteruan atau bahkan ‘hubungan khusus’ selama beberapa bulan terakhir telah menciptakan ‘kehamilan politik’ yang diduga - mau tak mau - akan melahirkan Poros Ketiga.
Apa indikasinya?
Pertama, baik koalisi berkuasa maupun oposisi sebelum masuk tahun 2018 hanya dikenal ada kubu Jokowi dan kubu Prabowo. Namun memasuki bulan Juli 2018 sempat terjadi arus cukup besar dengan pernyataan dan pemberitaan ihwal koalisi lain; koalisi keummata dan koalisi kerakyatan. Meski sempat dicibir beberapa kalangan terutama kalangan koalisi berkuasa – mereka menyebutnya koalisi apa, bagaimana dengan siapa –
Koalisi ummat di gagas oleh Habib Rizieq ketika bertemu dengan Amien Rais, PA 212 dan beberapa tokoh elit Gerindra, termasuk Prabowo. Belakangan terjadi komunikasi, kunjungan dan pertemuan antara Prabowo dan SBY. Jika Habib Rizieq menginginkan biar partai berlatar belakang islam bersatu untuk mengusung sendiri capres dan cawapres, maka SBY pun melontarkan gagasan koalisi ummat sehabis bertemu dengan mantan panglima Tentara Nasional Indonesia Gatot Nurmantyo. Sementara Amien Raispun telah menyatakan maju sebagai capres 2019.
Baca: Koalisi Keummatan dan Koalisi Kerakyatan, hanya impian?
Baca: Koalisi Keummatan dan Koalisi Kerakyatan, hanya impian?
Tarik ulur, komunikasi, benci rindu, lirikan kepentingan dan peluang kekuasaan, secara tak sengaja telah membuka peluang besar bagi Poros Ketiga.
Kedua, presidential threshold ataupun electoral threshold telah mewajibkan bahwa pengusung capres dan cawapres harus mempunyai minimal 20% keterwakilan dewan perwakilan rakyat maupun perolehan bunyi pemilu sebelumnya, dan tak satupun partai sanggup mencalonkan pasangan capres cawapres secara tunggal, mereka harus berkoalisi. Dari angka ini saja secara logika seharusnya ada 4 pasangan calon (meskipun faktanya 5 pasangan calon juga bisa, namun sangat sulit alias tidak mungkin sebab koalisi beberapa parpol tak akan sanggup mencapai benar-benar sempurna 20%). Jika 4 pasangan calon aja sudah sangat berat, maka yang memungkinkan ialah 3 pasangan calon, alias sanggup muncul Poros Ketiga.
Baca; Peluang Poros Ketiga pada pemilu 2019 (Bagian 1)
Baca; Peluang Poros Ketiga pada pemilu 2019 (Bagian 1)
Logika sederhana
Ternyata, ada logika sederhana yang tidak perlu rumit atau memusingkan, dengan kembali kepada sifat politik yang bersandar pada kepentingan politik dan pragmatisme, para elit parpol akan mengambil langkah sebagai berikut :
1. Jika kepentingan elit politik tidak terakomodir atau kecewa, mereka akan mencari rekan baru, istilah gaulnya kelompok BSH (Barisan Sakit Hati)
2. BSH ini akan terjadi di dua kelompok besar; Koalisi dan Oposisi (Batu Tulis dan Garudayaksa)
3. BSH akan mendekati kelompok yang selama ini cenderung Netral (Cikeas)
4. BSH akan memanfaatkan momentum ‘nothing to lose’, momentum dimana apabila mereka membentuk Poros Ketiga akan punya peluang menang atau minimal masuk dua besar hasil putaran pertama dan akan mengikuti pilpres putaran kedua sebab amanat UU memungkinkan untuk itu.
5. Jika Poros Ketiga kalah atau tidak masuk dua besar di putaran pertama, mereka justru punya peluang berkoalisi dengan ‘kelompok pemenang putaran pertama’ dengan tanpa beban atau bahkan ‘memang dibutuhkan.
6. Jika idealisme itu tidak tercapai, Poros Ketiga juga akan dengan ‘santai’ menyatakan Netral pada pilpres putaran kedua nantinya.
Poros Ketiga bukan lagi tak mungkin tercipta, bukan hanya sebuah ‘rayuan menggoda’ tapi telah menjadi 'janin bayi' berusia 9 bulan !
0 komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas kunjungan kalian semua.
Silahkan tinggalkan komentar anda dengan baik dan sopan.
Silahkan berikan saran dan kritik untuk membangun blog ini jauh lebih baik.
terimakasih