Minggu, 24 Februari 2019

Inilah Buya Hamka


 dan Siti Safiyah Binti Gelanggar yang bergelar Bagindo nan Batuah Inilah   Buya Hamka

Hamka lahir pada 17 Februari 1908 di Kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, dari pasangan Dr. H. Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) dan Siti Safiyah Binti Gelanggar yang bergelar Bagindo nan Batuah. Hamka mewarisi darah ulama dan pejuang yang kokoh pada pendirian dari ayahnya yang dikenal sebagai ulama penggerak Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau serta salah satu tokoh utama dari gerakan pembaharuan yang membawa reformasi Islam (kaum muda).

Nama Hamka sendiri merupakan kependekan dari namanya, Haji Abdul Malik Karim Amrullah, sedangkan sebutan Buya ialah panggilan khas untuk orang Minangkabau. Kata Buya sebetulnya berasal dari kata abi, atau abuya dalam bahasa Arab yang berarti ayahku atau orang yang dihormati.

Jika banyak tokoh kuat yang bertahun-tahun menimba ilmu di sekolah formal, tidak demikian halnya dengan Hamka. Pendidikan formal yang ditempuhnya hanya hingga kelas dua Sekolah Dasar Maninjau. Setelah itu, dikala usianya menginjak 10 tahun, Hamka lebih menentukan untuk mendalami ilmu agama di Sumatera Thawalib di Padang Panjang, sekolah Islam yang didirikan ayahnya sekembalinya dari Makkah sekitar tahun 1906.

Di sekolah itu, Hamka mulai serius mempelajari agama Islam serta bahasa Arab. Sejak kecil Hamka memang dikenal sebagai anak yang haus akan ilmu. Selain di sekolah, ia juga menambah wawasannya di surau dan masjid dari sejumlah ulama populer menyerupai Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto dan Ki Bagus Hadikusumo.

Pada tahun 1924, Hamka yang ketika itu masih sampaumur sempat berkunjung ke Pulau Jawa. Di sana ia banyak menimba ilmu pada pemimpin gerakan Islam Indonesia diantaranya Haji Omar Said Chakraminoto, Haji Fakharudin, Hadi Kesumo bahkan pada Rashid Sultan Mansur yang merupakan saudara iparnya sendiri.

Selanjutnya pada 1927, berbekal ilmu agama yang didapatnya dari aneka macam tokoh Islam kuat tadi, Hamka memulai karirnya sebagai Guru Agama di Perkebunan Tebingtinggi, Medan. Dua tahun kemudian, ia mengabdi di Padang masih sebagai Guru Agama. Masih di tahun yang sama, Hamka mendirikan Madrasah Mubalighin. Bukan hanya dalam hal ilmu keagamaan, Hamka juga menguasai aneka macam bidang ilmu pengetahuan menyerupai filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik. Yang menarik, semua ilmu tadi dipelajarinya secara belajar sendiri tanpa melalui pendidikan khusus. John L. Espito dalam Oxford History of Islam bahkan menyejajarkan sosok Hamka dengan Sir Muhammad Iqbal, Sayid Ahmad Khan dan Muhammad Asad.

Hamka juga pernah menekuni bidang jurnalistik dengan berkarir sebagai wartawan, penulis, editor dan penerbit semenjak awal tahun 1920an. Ia tercatat pernah menjadi wartawan aneka macam surat kabar, yakni Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah.
Di sela kegiatannya sebagai jurnalis, Hamka memulai perannya di dunia politik dengan menjadi anggota partai Sarekat Islam pada tahun 1925. Di waktu yang hampir bersamaan, ia ikut mendirikan Muhammadiyah untuk menentang khurafat, bidaah dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Selanjutnya Hamka terlibat dalam kepengurusan organisasi Islam tersebut dari tahun 1928 hingga 1953.
Bersama dengan KH Fakih Usman (Menteri agama dalam Kabinet Wilopo 1952), Hamka menerbitkan majalah tengah bulanan Panji Masyarakat pada Juli 1959. Majalah ini menitikberatkan soal-soal kebudayaan dan pengetahuan agama Islam. Majalah ini kemudian dibredel pada 17 Agustus 1960 dengan alasan memuat karangan Dr Muhammad Hatta berjudul 'Demokrasi Kita', yang isinya mengkritik tajam konsep Demokrasi Terpimpin. Majalah ini gres terbit kembali sesudah Orde Lama tumbang, tepatnya pada 1967. Hamka sendiri dipercaya sebagai pimpinan umum majalah Panji Masyarakat hingga selesai hayatnya.

Hamka juga pernah menjadi editor di majalah Pedoman Masyarakat dan Gema Islam. Pada tahun 1928 hingga 1932, Hamka pernah menjadi editor sekaligus penerbit dari dua media yang berbeda, yakni majalah Kemajuan Masyarakat yang terbit hanya beberapa nomor serta majalah al-Mahdi di Makasar.

Di sela kegiatannya sebagai jurnalis, Hamka memulai perannya di dunia politik dengan menjadi anggota partai Sarekat Islam pada tahun 1925. Di waktu yang hampir bersamaan, ia ikut mendirikan Muhammadiyah untuk menentang khurafat, bidaah dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Selanjutnya Hamka terlibat dalam kepengurusan organisasi Islam tersebut dari tahun 1928 hingga 1953. Mulai tahun 1928, ia mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Setahun kemudian, ia mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah. Pada 1931, ia menjabat sebagai konsul Muhammadiyah di Makassar.

Lima tahun berselang, usai menjabat sebagai Konsul Muhammadiyah, Hamka pindah ke Medan. Kemudian di tahun 1945, ia kembali ke kampung halamannya di Sumatera Barat. Saat itulah, bakatnya sebagai pengarang mulai tumbuh. Buku pertama yang dikarangnya berjudul Khathibul Ummah, yang kemudian disusul dengan sederet judul lain yakni Revolusi Fikiran, Revolusi Agama, Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi, Negara Islam, Sesudah Naskah Renville, Muhammadiyah Melalui Tiga Zaman, Dari Lembah Cita-Cita, Merdeka, Islam dan Demokrasi, Dilamun Ombak Masyarakat, dan Menunggu Beduk Berbunyi.

Saat perang revolusi, Hamka juga turut berjuang mengusir penjajah. Lewat pidato, ia mengobarkan semangat para pejuang untuk merebut kedaulatan negara. Dalam dongeng perjuangannya, Hamka juga pernah ikut serta menentang kembalinya Belanda ke Indonesia dengan bergerilya di dalam hutan di Medan. Selain didorong rasa cinta pada Tanah Air yang demikian besar, semangat usaha Hamka juga senantiasa berkobar tiap kali mengingat pesan ayahnya yang diucapkan ketika Muktamar Muhammadiyah tahun 1930 di Bukittinggi, "Ulama harus tampil ke muka masyarakat, memimpinnya menuju kebenaran."

Pasca kemerdekaan, Konferensi Muhammadiyah menentukan Hamka untuk menduduki posisi ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto di tahun 1946. Lalu pada 1947, ia menjabat sebagai ketua Barisan Pertahanan Nasional yang beranggotakan Chatib Sulaeman, Udin, Rangkayo Rasuna Said dan Karim Halim. Hamka juga menerima amanat dari Wapres Mohammad Hatta untuk menjabat sebagai sekretaris Front Pertahanan Nasional.

Pada tahun 1953, Hamka terpilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada tahun 1951-1960, Hamka menerima mandat dari Menteri Agama Indonesia untuk duduk sebagai Pejabat Tinggi Agama. Namun belakangan, ia lebih menentukan untuk mengundurkan diri lantaran pada waktu itu Presiden Soekarno memintanya menentukan antara menjadi pegawai negeri atau berkiprah di dunia politik.

Pada tahun 1955, Hamka memang tercatat sebagai anggota konstituante Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dan berpidato dalam Pemilu Raya di tahun yang sama. Meskipun pada akhirnya, partai yang didirikan di Yogyakarta pada 7 November 1945 itu dibubarkan Presiden Soekarno di awal tahun 1960. Pada dekade 1950-an, politik seakan menjadi "panglima", menyikapi kenyataan tersebut, Hamka pernah memberikan pernyataannya yang melukiskan martabat sebagai pemimpin umat, "Kursi-kursi banyak, dan orang yang ingin pun banyak. Tetapi kursiku ialah buatanku sendiri," kata Hamka menyerupai dikutip dari situs Republika.co.id

Hamka kembali ke dunia pendidikan pada tahun 1957 sesudah resmi diangkat menjadi dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang. Karirnya sebagai pendidik terus menanjak, sesudah ia terpilih sebagai rektor pada Perguruan Tinggi Islam, Jakarta, kemudian dikukuhkan sebagai guru besar di Universitas Moestopo, Jakarta, dan Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Di samping sering memberi kuliah di aneka macam sekolah tinggi tinggi, Hamka juga memberikan dakwahnya melalui Kuliah Subuh RRI Jakarta dan Mimbar Agama Islam TVRI yang diminati jutaan masyarakat Indonesia di masa itu.

Menjelang tumbangnya rezim Orde Lama, persisnya tahun 1964, Hamka pernah mendekam di penjara selama dua tahun lantaran dituduh pro-Malaysia. Meski secara fisik ia terkurung, Hamka terus berkarya. Jika kebanyakan orang usai menjalani eksekusi sebagai tahanan politik lebih menentukan untuk mengeluarkan buku kecaman terhadap rezim penguasa, tak demikian halnya dengan Hamka. Ia justru menghasilkan mahakarya yang membuat namanya tersohor hingga ke mancanegara, yakni tafsir Al Alquran yang diberi nama Tafsir Al-Azhar, sesuai dengan nama masjid kawasan Hamka selalu memperlihatkan kuliah subuh. Tafsir Al-Azhar yang berisi terjemahan Al-Quran sebanyak 30 juz lengkap itu merupakan satu-satunya Tafsir Al Qur'an yang ditulis oleh ulama melayu dengan gaya bahasa yang khas dan gampang dicerna. Diantara ratusan judul buku mengenai agama, sastra, filsafat, tasauf, politik, sejarah dan kebudayaan yang melegenda hingga hari ini, bisa dibilang Tafsir Al-Azhar ialah karya Hamka yang paling fenomenal.

Di samping dikenal sebagai ulama dan politisi berpengaruh, sejarah juga mencatat Hamka sebagai seorang sastrawan yang cerdas. Dengan kemampuan bahasa Arabnya yang mumpuni, ia sanggup mendalami karya para ulama dan pujangga besar asal Timur Tengah menyerupai Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Tak hanya itu, ia juga sanggup meneliti karya sarjana Barat menyerupai Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti.

Hamka juga banyak memberikan pemikirannya perihal Islam lewat sejumlah bukunya yang antara lain berjudul Agama dan perempuan, Pembela Islam, Adat Minangkabau dan Agama Islam, Kepentingan Tabligh, Ayat-Ayat Mi'raj, dan masih banyak lagi. Sementara dalam hal agama dan filsafat, Hamka juga mengarang beberapa buku yang diberi judul Tasauf Moderen, Falsafat Hidup, Lembaga Hidup, Lembaga Budi, Pedoman Muballigh Islam, dan lain-lain.

Tak hanya piawai menghasilkan karya yang bernafaskan Islam, Hamka juga cukup produktif menghasilkan beberapa karya sastra kreatif menyerupai novel, diantaranya Tenggelamnya Kapal Van Der Wickj , Merantau ke Deli, serta novel terbitan tahun 1936, Di Bawah Lindungan Ka'bah, yang telah dua kali diangkat dalam film layar lebar. Karya-karya Hamka bahkan tidak hanya dipublikasikan oleh penerbit nasional sekelas Balai Pustaka dan Pustaka Bulan Bintang melainkan juga diterbitkan di beberapa negara Asia Tenggara bahkan dirilis di aneka macam situs, blog dan media informasi lainnya.

Hebatnya lagi, hasil karya Hamka menjadi buku teks sastra di luar negeri menyerupai Malaysia dan Singapura. Banyak warga Malaysia yang mengagumi karakter, pemikiran dan usaha Buya Hamka bahkan menjadikannya sebagai salah satu soko guru agama Islam di tanah Melayu.Pada tahun 1974, Hamka mendapatkan gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Kebangsaan Malaysia dari pemerintah Malaysia melalui Perdana Menteri Tun Abdul Razak sebagai bentuk penghargaan atas pemikiran dan sumbangsihnya dalam memajukan perkembangan agama Islam, serta kegigihannya dalam berdakwah terutama di tanah Melayu. Karena dedikasinya di bidang dakwah, gelar yang sama juga pernah diberikan Universitas Al Azhar pada Hamka yang membawakan pidato ilmiah berjudul "Pengaruh Ajaran dan Pikiran Syekh Mohammad Abduh di Indonesia". Pemerintah Indonesia sendiri pernah memberinya gelar Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno.

Tak hanya lewat tulisan, Hamka juga memperlihatkan watak mulia dan suri tauladan bagi para pengikutnya, salah satunya secara terbuka memaafkan semua orang yang pernah menyakitinya. Misalnya pada 21 Juni 1970 ketika Presiden RI pertama Ir. Soekarno wafat, ia bertindak sebagai imam shalat jenazahnya. Tak ada sedikit pun rasa dendam atau sakit hati dalam dirinya, bahkan konon Hamka sempat menitikkan airmata begitu mendengar gosip kepergian Sang Proklamator. Setelah sholat jenazah, ia berkata kepada mayit Soekarno, "Aku telah doakan engkau dalam sholatku semoga Allah memberi ampun atas dosamu. Aku bergantung kepada akad Allah bahwa walaupun hingga ke lawang langit timbunan dosa, asal memohon ampun dengan tulus, akan diampuni-Nya".

Pada awal dekade 70-an, Hamka mengingatkan umat Islam terhadap tantangan al-ghazwul fikri (penjajahan alam pikiran). Menurut Hamka, penjajahan alam pikiran beriringan dengan penghancuran watak dan kebudayaan di negeri-negeri Islam. Sekularisasi atau sekularisme ialah setali tiga uang dengan ghazwul fikr yang dilancarkan dunia Barat untuk menaklukkan dunia Islam, sesudah kolonialisme politik dalam aneka macam bentuk, gagal.

Cap sebagai mantan narapidana juga tak membuat kharisma seorang Hamka luntur begitu saja. Usai menjalani hukuman, ia masih menerima kepercayaan untuk mengemban sejumlah jabatan, diantaranya menjadi anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia.

Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama RI Prof. Dr. Mukti Ali mempercayakan jabatan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada Hamka. Berbagai pihak waktu itu sempat ragu apakah Hamka bisa menghadapi intervensi kebijakan pemerintah Orde Baru kepada umat Islam yang dikala itu berlangsung dengan sangat massif. Hamka rupanya berhasil menepis keraguan itu dengan menentukan masjid Al-Azhar sebagai pusat aktivitas MUI ketimbang harus berkantor di Masjid Istiqlal. Istilahnya yang populer waktu itu ialah kalau tidak hati-hati nasib ulama itu akan menyerupai masakan ringan manis bika , yakni bila MUI terpanggang dari atas (pemerintah) dan bawah (masyarakat) terlalu panas, maka situasinya akan menjadi sulit. Bahkan bukan tidak mungkin, MUI bisa mengalami kemunduran serius.

Usaha Hamka untuk mewujudkan MUI sebagai forum yang independen kian terasa kental pada awal dekade 80-an. Lembaga ini berani melawan arus dengan mengeluarkan pemikiran mengenai dilema perayaan Natal bersama. Buya Hamka menyatakan haram bila ada umat Islam mengikuti perayaan keagamaan itu. Adanya pemikiran tersebut kontan membuat publik geger. Terlebih ketika itu pemerintah tengah gencar mendengungkan isu toleransi.

Berbagai instansi waktu itu ramai mengadakan perayaan natal. Bila ada orang Islam yang tidak bersedia ikut merayakan natal maka mereka dianggap orang berbahaya, fundamentalis, dan anti Pancasila. Umat Islam pun merasa resah, keadaan itulah yang kemudian memaksa MUI mengeluarkan fatwa. Fatwa tersebut bukan tanpa risiko. Sebagai orang yang dianggap paling bertanggung jawab atas keluarnya pemikiran tersebut, Buya Hamka pun menuai kecaman dari aneka macam pihak tak terkecuali pemerintah. MUI ditekan dengan gencar melalui aneka macam pendapat di media massa yang menyatakan bahwa keputusan itu hanya akan mengancam persatuan negara.

Akhirnya pada 21 Mei 1981, Hamka meletakkan jabatan sebagai Ketua MUI daripada harus mencabut pemikiran tersebut. Sebagai pengawal kepercayaan umat, Hamka memberikan masukan kepada Presiden Soeharto mengenai dilema Kristenisasi. Sikap Soeharto pun sejalan dengan pandangan MUI bahwa jikalau hendak membuat kerukunan beragama, maka orang yang sudah beragama jangan dijadikan target untuk propaganda agama yang lain.

Namun tak dipungkiri, keteguhan Hamka dalam mempertahankan prinsipnya, berhasil membangun gambaran MUI sebagai forum yang mewakili bunyi umat Islam. Seperti yang pernah disampaikan Mantan Menteri Agama H.A. Mukti Ali menyerupai dikutip dari situs Republika.co.id, "Berdirinya MUI ialah jasa Hamka terhadap bangsa dan negara. Tanpa Buya, forum itu tak akan bisa berdiri."

Dua bulan sesudah pengunduran dirinya itu, Hamka dilarikan ke rumah sakit lantaran komplikasi penyakit kencing manis, gangguan jantung, radang paru-paru, dan gangguan pada pembuluh darah yang dideritanya. Setelah tiga hari menjalani perawatan di ruang (ICU) RS Pusat Pertamina, Hamka kesudahannya menghadap Sang Khalik di usia 73 tahun pada hari Jumat, 24 Juli 1981 pukul 10.41. Setelah disholatkan di Masjid Al-Azhar, jenazahnya kemudian dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta.

Atas jasa-jasanya pada negara, Presiden Soeharto menganugerahkannya Bintang Mahaputera Utama pada tahun 1993. Kemudian di tahun 2011, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberi gelar satria Nasional pada Hamka menurut surat Keputusan Presiden Nomor 113/TK/2011. Pemberian gelar tersebut disambut dengan rasa besar hati oleh pihak keluarga Hamka, "Kami, keluarga mengucapkan terima kasih kepada pemerintah dan dia itu semenjak awal sudah jadi satria bagi kami," kata anak kesepuluh Buya Hamka, Afif Hamka kepada wartawan.

Ulama cerdas nan kharismatik itu memang telah berpulang ke rahmatullah, namun pengabdian dan sumbangannya dalam membangun kesadaran umat Islam dan impian bangsa tetap dikenang dan menjadi ide bagi generasi masa kini. Cendekiawan sekaligus budayawan, Dr. Nurcholish Madjid dalam buku 70 Tahun Buya Hamka (1978) mencatat peranan dan ketokohan Hamka sebagai figur sentral yang telah berhasil ikut mendorong terjadinya mobilitas vertikal atau gerakan ke atas agama Islam di Indonesia, dari suatu agama yang "berharga" hanya untuk kaum sarungan dan pemakai bakiyak di zaman kolonial menjadi agama yang semakin diterima dan dipeluk dengan sungguh-sungguh oleh "kaum atas" Indonesia merdeka. Hamka berhasil merubah postur kumal seorang kiai atau ulama Islam menjadi postur yang patut menjadikan rasa hormat dan respek. Cak Nur lebih lanjut mengutarakan, melihat keadaan lahiriah yang ada sekarang, sulit membayangkan bahwa di bumi Indonesia akan lahir lagi seorang imam dan ulama yang menyamai Buya Hamka.

Sayangnya, banyak generasi muda yang tak mengenal sosoknya apalagi mengkaji ketokohannya. Nama besar Hamka justru lebih dihormati negara tetangga. Hal itu bisa dilihat dari kunjungan masyarakat ke Museum Buya Hamka yang lebih didominasi wisatawan Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam ketimbang wisatawan lokal. Memang amat disayangkan, entah lantaran kurangnya promosi, museum yang terletak di tepi Danau Maninjau, Kabupaten Agam, Sumatra Barat dan diresmikan pada 11 November 2001 oleh H. Zainal Bakar, Gubernur Sumatera Barat masa itu, ternyata tak begitu menggoda masyarakat Indonesia.

Sebagai bukti penghargaan yang tinggi dalam bidang keilmuan, Muhammadiyah mengabadikan namanya menjadi nama sebuah sekolah tinggi tinggi yang berada di Yogyakarta dan Jakarta, yakni Universitas Hamka (UHAMKA). Akhir tahun 2007, sebuah panitia yang dibuat oleh Universitas Prof Dr Hamka Jakarta telah menyelenggarakan beberapa aktivitas penting dalam rangka 100 tahun Buya Hamka di Masjid Agung Al Azhar Kebayoran Baru Jakarta Selatan, salah satunya ialah meluncurkan buku 100 tahun Buya Hamka.

Sumber: http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/285-ensiklopedi/1259-ulama-politisi-dan-sastrawan-besar

1 komentar:

DEWAPK^^ agen judi terpercaya, ayo segera bergabungan dengan kami
dicoba keberuntungan kalian bersama kami dengan memenangkan uang jutaan rupiah
ditunggu apa lagi segera buka link kami ya :) :)

Posting Komentar

Terimakasih atas kunjungan kalian semua.
Silahkan tinggalkan komentar anda dengan baik dan sopan.
Silahkan berikan saran dan kritik untuk membangun blog ini jauh lebih baik.
terimakasih

Baca Juga

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
close
Banner iklan   disini