Minggu, 03 Maret 2019

Kisah Pak Sanim, Si Tukang Becak Yang Menjadi Jutawan


'Mari Berdikari Di Negeri Sendiri'
Hai P.I Lovers Selamat membaca, Salam Sukses !
Tidak ada yang ingin terlahir menjadi miskin. Namun banyak juga orang yang dulunya miskin namun bisa mengubah nasib hingga menjadi jutawan. Kisah Pak Samin si Tukang Becak misalnya. Pria yang dulunya ialah seorang tukang becak ini kini menjadi jutawan. Bagaimana kisahnya? Yuk simak kiat bagaimana pak samin mengubah nasibnya berikut ini :


Bertahun-tahun lamanya Sanim menggantungkan nasib pada sebuah becak yang dimilikinya. Kini nasibnya berubah, ia menjadi jutawan dengan dua pabrik, tiga rumah, 10 mobil, dan dua kali haji dari usahanya itu.



Sanim (60) merupakan seorang pengusaha asal Desa Rawa Urip, Kecamatan Pangenan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Ia menjadi salah satu referensi warga yang berhasil keluar dari garis kemiskinan.



Dua perjuangan yang ia jalani dikala ini ialah pabrik pembuatan garam dan pupuk organik. Namun, nama Sanim lebih dikenal sebagai pengusaha garam ketimbang pengusaha pupuk organik.



Sekarang Sanim punya 10 mobil, tiga di antaranya kendaraan beroda empat pribadi tipe Daihatsu Taruna, Honda Jazz, dan kendaraan beroda empat pertama ketika ia beli tahun 1997, yaitu Daihatsu Espass, besar hati sekali saya dikala itu. Sisanya kendaraan beroda empat angkut produksi, menyerupai Fuso.


Adapun beberapa jenis garam yang diproduksi, ialah jenis garam grosok (garam non-yodium masih berbentuk butiran besar dan kasar, biasanya digunakan untuk budidaya dan pengawetan ikan), garam dapur (konsumsi), dan garam industri untuk pabrik tekstil.

Sementara jenis pupuknya, yakni organik tipe KCL (Kalium clorida), fungsinya meningkatkan unsur hara Kalium di dalam tanah budidaya.

Kemampuan produksi kedua pabriknya, Samin mengaku, dalam setahun bisa memproduksi masing-masing 2.000 ton baik garam maupun pupuk organik dengan penghasilan higienis minimal mencapai Rp 400 juta per tahun.

Menimba Ilmu Dari Pabrik Garam


Sanim menceritakan, pada awalnya ketika masih sebagai tukang becak, ia sering mangkal di perapatan Jalan Cirebon. Di tempatnya mangkal, bangkit sebuah pabrik garam yang cukup besar.



Sanim pun tertarik untuk melamar kerja di pabrik tersebut, dengan impian nasibnya bisa lebih baik. Beruntung, Ia diterima bekerja di situ.



Setelah dua bulan bekerja, Sanim pun berpikir, di wilayahnya kan punya potensi garam, kemudian kenapa ia tidak bisa menciptakan garam sendiri.


Akhirnya, Sanim berhenti kerja dari pabrik garam tersebut. Di situlah Ia mulai berpikir, perjuangan garam ternyata bisa mengeruk laba yang lebih besar dari buruh pabrik apalagi tukang becak.

Baginya, garam bukan hanya sebagai bumbu penyedap makanan, melainkan juga diperlukan untuk keperluan industri, pertanian, dan perikanan. Ternyata, tidak sia-sia pernah bekerja di pabrik garam. Kaprikornus bisa dikatakan cuma nimba ilmu di pabrik tersebut.

Ilmu yang diperolehnya, ialah cara menciptakan garam krosok. Samin pun menggarap empang peninggalan orang tuanya yang berada di belakang rumah Sanim untuk mencoba menciptakan garam.

Lama-lama usahanya berkembang, hingga yang awalnya perjuangan di halaman belakang rumah, kemudian berkembang dan bisa membeli tanah untuk tempat produksi yang lebih luas lagi, dan Sanim pun bisa mengantarkan keempat anaknya meraih gelar sarjana.

Petani garam umumnya memanfatkan empang atau bak di bersahabat pantai. Caranya, dengan mengumpulkan air bahari ke dalam empang. Lalu, dengan pinjaman sinar matahari, air bahari yang terkumpul tersebut akan menguap dan menghasilkan kristal-kristal bersenyawa Natrium klorida (NaCl).

Kristal NaCL itu dikumpulkan oleh petani, kemudian dibersihkan berulang kali dari kotoran yang menempel hingga menjadi butiran halus dan kecil namun non-yodium.

Itu dulu, kini selain memproduksi sendiri garam krosok, Ia juga membelinya dari petani garam di sekitar Cirebon. Dengan kisaran harga beli sekitar Rp 400 per kilo gram.

Harga belinya murah disebabkan garam yang diterima masih sangat kotor dan berwarna hitam. Kemudian Ia basuh kembali dengan alat seadanya.

Akhirnya, Ia memutuskan untuk membeli alat pencuci khusus garam krosok seharga Rp 20 jutaan. Lebih efisien dan garam krosok bisa dibersihkan dengan cepat. Ia pun menjual garam itu ke industri, pertanian, dan perikanan. Di beberapa iklan promosi yang beredar di internet, harga jual garam krosok higienis bisa mencapai Rp 810.

Peralatan produksi garamnya pun masih memakai mesin tradisional. Menurutnya, ini warisan budaya setempat. Lagi pula. Ia menganggap, mesin tradisional lebih tahan usang dan tidak menimbulkan bising ketimbang mesin modern berbahan besi.

Mesin tradisional ini lah yang digunakan sanim, mengolah garam krosoknya menjadi garam beryodium dan bisa dikonsumsi oleh masyarakat.

Memanfaatkan KUR


Lambat laun, Sanim pun mulai berpikir untuk menyebarkan perjuangan lebih besar lagi dari yang Ia jalani sekarang. Pada 2010, ia memutuskan, memakai kemudahan Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang disediakan perbankan BUMD Jawa Barat, yakni Bank BJB (Bank Jabar Banten).


Sebelumnya, Ia hanya memanfaatkan jasa bilyet giro Bank BJB untuk bertransaksi dengan pembeli luar kota. "Kita pernah mengajukan utang pinjaman ke Bank BCA, tapi waktu itu ditolak. Setelah itu balasannya kita ke bank BJB. sesudah diproses dan melihat prospek perkembangan perjuangan kita, balasannya kita sanggup dana," katanya bercerita dikala kesulitan memperoleh dana usaha.



Untuk menghasilkan 2.000 ton garam, paling tidak Sanim harus mengeluarkan biaya produksi sebesar Rp 1 miliar. Untuk itu, Ia sangat membutuhkan suntikan dana bank untuk memperlancar arus produksinya. Ia mengaku, tidak pernah mengalami kredit macet selama meminjam ke bank.



Bank BJB memperlihatkan terusan kemudahan bagi para pengusaha mikro melalui jalur KUR. Salah satu langkah BJB, ialah meluncurkan suatu kegiatan berjulukan 'Warung BJB'. Warung tersebut semacam bank keliling khusus untuk menyalurkan pembiayaan perjuangan mikro.


Kini, 430 Warung BJB tersebar di pasar-pasar tradional di beberapa wilayah Jawa Barat dan Banten. Khusus kredit (KUR) masih fokus di Jawa barat dan Banten. Ini lantaran untuk menyalurkan kredit, pihak Bank harus tahu dulu customernya.

Biasanya, pengusaha mikro yang tiba ke BJB untuk mengajukan KUR, didiskusikan terlebih dahulu, bank pun bisa eksklusif mencairkan dananya. Asalkan pengusaha punya tempat perjuangan tetap.

Bank BJB memberi dana mulai paling kecil yankni Rp 2 juta hingga yang paling besar hingga Rp 50 juta. Begitu tumbuh, kemudian akan dinaikan kembali levelnya hingga RP 100 juta. kemudian begitu tumbuh lagi, dinaikan kembali level pinjamannya.

Rhenald Kasali Tentang Sanim


Guru Besar FEUI sekaligus penggiat Rumah Perubahan kewirausahaan Rhenald Kasali mengatakan, aneka macam orang yang menjadi tukang becak selama 20 tahun dan bahkan hingga tamat hayatnya.


"Tapi Pak Sanim berubah, justru Pak Sanim melihat dirinya ada potensi. Dan kini Pak Salim menjadi pengusaha besar di bidang garam. Ketika sebagian besar orang justru ingin impor garam. Pak Sanim berkutat untuk menyelamatkan garam Indonesia.



Rhenald menyebut Sanim dan pengusaha mikro sejenis ialah para "Pengusaha kracking". Para pengusaha yang awalnya bukan dari kalangan keluarga pengusaha, namun mereka nekat keluar dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat pada umumnya.




Source :

duniakisahnyata.blogspot.co.id



Share Artikel :

0 komentar:

Posting Komentar

Terimakasih atas kunjungan kalian semua.
Silahkan tinggalkan komentar anda dengan baik dan sopan.
Silahkan berikan saran dan kritik untuk membangun blog ini jauh lebih baik.
terimakasih

Baca Juga

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
close
Banner iklan   disini