Kisah sukses pengusaha kuliner Ayam bakar Wong Solo, Siapa yang tidak mengenal nama rumah makan yang satu ini. Restoran yang selalu mengubah penampilannya secara terencana ini bisa menyedot perhatian konsumen untuk berkunjung merasakan hidangan makan yang ada didalamnya. Rumah makan yang dibuka secara kecil-kecilan ini kini berubah menjadi menjadi salah satu rumah makan papan atas Indonesia. Buktinya telah berkibar Ayam Bakar Wong Solo puluhan gerai yang tersebar di kota-kota besar di nusantara.
Ayam Bakar Wong Solo merupakan bisnis masakan yang mengantarkan banyak pengusaha sukses yang ada di Indonesia melalui kisah sukses perjalan Puspo Wardoyo sebagai pendirinya. Beliau sosok tokoh pengusaha yang pantang menyerah, pekerja keras dan selalu bersemangat dalam membuatkan usahanya. Memang banyak sekali tantangan dan kendala yang dihadapi ia hingga mencapai puncak kesuksesannya. Simak perjalanan panjang laki-laki ini meraih keberhasilannya.
Puspo Wardoyo
Puspo Wardoyo, merintis waralaba Ayam Bakar Wong Solo hingga menjadi sebesar kini ini dari titik paling bawah. Ia pernah menjajakan ayam bakar di kaki lima. Sejak kecil Puspo sudah terbiasa berurusan dengan ayam. Orangtuanya penjaja ayam. Pagi hari, Puspo kecil membantu menyembelih ayam untuk dijual di pasar. Siang hingga malam, ia membantu orangtuanya menjajakan hidangan siap saji menyerupai ayam goreng, ayam bakar, dan hidangan ayam lainnya di warung milik orangtuanya di bersahabat kampus UNS Solo.
Impian itu sendiri terinpirasi oleh dongeng seorang pedagang bakso yang sukses mengarungi hidup di Medan. Ketika laki-laki kelahiran 30 November 1957 itu tengah merintis perjuangan warung lesehan di Solo selepas mengundurkan diri dari pegawai negeri sipil, suatu dikala pedagang bakso asal Solo tersebut bertandang ke tempat Puspo.
Dia bercerita bahwa peluang perjuangan warung makan di Medan sangat bagus. Pedagang bakso itu telah membuktikannya. Dalam sehari ia bisa meraup keuntungan higienis di simpulan tahun 1990 itu sekitar Rp 300.000. Dari keuntungan berjualan bakso dengan gerobak sorong itulah sahabat Puspo ini bisa pulang menengok kampung halamannya di Solo setiap bulan. "Dengan uang, jarak antara Solo Medan lebih bersahabat dibanding Solo Semarang, " kata Puspoyo menirukan ucapan temannya tadi. Wajar saja bila dengan pesawat terbang waktu tempuh antara MedanSolo Berganti pesawat di Jakarta hanya membutuhkan waktu sekitar 1 jam. Sementara dengan naik bis jarak antara SoloSemarang ditempuh sekitar empat jam.
Cerita sukses temannya itu begitu membekas di benak Puspo. "Saya bertekad bundar akan merantau ke Medan, " pikirnya. Untuk mewujudkan keinginannya itu, apa boleh buat, warung makan yang termasuk perintis warung lesehan di kota sentra kebudayaan Jawa itu pun ia jual kepada temannya. Uang hasil penjualan yang tak seberapa itu ia manfaatkan untuk membeli tiket bus ke Jakarta. Mengapa Jakarta? "Karena dengan uang yang saya miliki, bekal saya belum cukup untuk merantau ke Medan, " katanya.
Ketika tengah merantau di ibu kota itu, suatu hari Puspo membaca lowongan pekerjaan sebagai guru di sebuah perguruan tinggi berjulukan DR Wahidin di Bagan Siapiapi, Sumatera Utara. Apa boleh buat, demi mewujudkan citacitanya, ia berusaha mengumpulkan modal dengan kembali menjadi guru. Bedanya, kali ini ia tidak lagi menjadi pegawai negeri menyerupai sebelumnya ketika menjadi staf pengajar mata pelajaran Pendidikan Seni di Sekolah Menengan Atas Negeri Muntilan, Kabupaten Magelang. "Target saya cuma dua tahun menjadi guru lagi," katanya.
Di sinilah anak pasangan Sugiman Suki ini ketemu dengan isteri pertamanya Rini Purwanti yang sama-sama menjadi tenaga pengajar di sekolah tersebut. Dua tahun menjadi guru ia berhasil mengumpulkan tabungan senilai Rp 2.400. 000. Dengan uang inilah keinginannya menaklukkan kota Medan tak terbendung lagi. Uang tabungan itu sebagian ia gunakan untuk menyewa rumah dan membeli sebuah motor Vespa butut. Masih ada sisa Rp 700.000 yang kemudian ia manfaatkan sebagai modal membangun warung kaki Lima di bilangan Polonia Medan.
Disini ia menyewa lahan 4x4 meter persegi seharga Rp 1.000 per hari. Suatu dikala pegawainya tertimpa masalah. Ia terlibat utang dengan rentenir. Puspo membantunya dengan cara meminjamkan uang. Sebagai ucapan terimakasih, sang pegawai membawa wartawan sebuah harian lokal Medan. Si wartawan yang merupakan sahabat suami pegawai yang ditolong Puspo kemudian menuliskan profilnya. Judul artikel itu Sarjana Buka Ayam Bakar Wong Solo. Artikel itu membawa rezeki bagi Puspo. Esok hari sehabis artikel dimuat, banyak orang berbondong-bondong mendatangi warungnya. Siapa sangka bila dari sebuah warung kecil ini kemudian melahirkan sebuah perjuangan jaringan rumah makan yang cukup kondang di seantero Medan. Impian untuk menaklukkan "jarak" Solo Medan lebih bersahabat dibanding Solo Semarang pun menjadi kenyataan. Bukan itu saja, evaluasi atas prestasi bisnis yang dirintis Puspo lebih jauh melewati harapan yang ia tinggalkan sebelumnnya.
Dari ibu kota Sumatera Utara ini nanti Rumah Makan Ayam Bakar Wong Solo (Wong Solo) melejit ke pentas bisnis nasional. Belakangan ini nama Wong Solo semakin berkibarkibar sehabis berhasil menaklukkan Jakarta sehabis sebelumnva "mengapung" dari tempat pinggiran. Dalam waktu relatif singkat kehadiran Wong Solo telah merengsek dan menanamkan tonggaktonggak bisnisnya di sentra kota metropolis ini. Ekspansinya pun semakin tak tertahankan dengan memasuki aneka macam kota besar di Indonesia.
Fenomena Wong Solo mengundang decak kekaguman aneka macam kalangan dari pejabat pemerintah, para pelaku bisnis hingga para pengamat. Hampir semua outletnya di Jakarta selalu sesak pengunjung, terutama di simpulan pekan dan hari libur. Bahkan ketika bulan Ramadhan kemarin, semua outlet tersebut membatasi jumlah pengunjung dikala berbuka puasa.
Skala perjuangan Wong Solo itu memang belum sekelas para konglomerat masa kemudian yang dengan enteng menyebut angka aset, omset atau keuntungan per tahun yang triliunan rupiah. "usaha saya memang belum kelas triliunan menyerupai para konglomerat yang kaya utang itu," paparnya. Kendati masih tergolong perjuangan menengah, namun kinerja wong Solo sangat solid dan tak punya beban utang. Ia mempunyai pondasi besar lengan berkuasa untuk terus berkembang. Untuk mewujudkan mimpimimpinya, ayah sembilan anak dari empat istri ini telah melewati rute perjalanan yang berlikaliku lengkap dengan segala tantangannya.
Ada masa ketika di waktuwaktu awal merintis perjuangan di Medan ia nyaris patah semangat garagara selama berhari-hari tak pernah meraih untung. Hanya berjualan dua atau tiga ekor ayam bakar plus nasi, terkadang dalam satu hari tak seekor pun yang laku. Pernah pula seluruh dagangannya yang telah dimasak di rumah tumpah di tengah jalan sebab jalanan licin sehabis hujan. "Apa boleh buat, saya terpaksa pulang dan memasak lagi". katanya. Istrinya yang tak sabar melihat lambannya perjuangan Puspo bahkan sempat memberi tahu ayahnya semoga memberitahu ayahnya semoga mempengaruhi Puspo supaya tak berjualan ayam bakar lagi. "Mertua saya bilang, kapan kau akan tobat," katanya menirukan ucapan sang mertua.
Pada awal perantauannya ke Medan, Puspo wardoyo, sama sekali tak menyangka bila perjuangan warung ayam bakar “Wong Solo” akan berkembang seperi sekarang. Maklum, rumah makan yang dibukanya hanyalah sebuah warung berukuran sekitar 3x4 meter di bersahabat bandara Polonia, Medan. Setahun pertama dia hanya bisa menjual 3 ekor ayam per hari yang dibagibagi menjadi beberapa potong. Harga jual per potongnya Rp 4.500 plus sepiring nasi.
Di tahun kedua, naik menjadi 10 ekor ayam per hari Namun sekarang, 13 tahun kemudian, di mempunyai lebih dari 16 cabang tersebar di medan, Banda Aceh, Padang, Solo, Denpasar, Pekanbaru, Surabaya, Semarang, Jakarta, Malang dan Yogyakarta meskipun masih mengandalkan ayam bakar, namun menunya kini makin bermacam-macam hingga 100 jenis. Sudah terbiasa bagi Wardoyo untuk menyisihkan 10 % dari manfaatnya untuk amal. Dia percaya, Tuhan akan memperkaya orang yang banyak beramal. Maka jangan heran bila Anda kebetulan mampir di salah satu rumah makannya menyaksikan karyawannya sedang berkerumun di dikala menjelang atau usai jam kerja. Mereka sedang melakukan ibadah “kultum” atau kuliah tujuh menit.
Promosi dari verbal ke verbal menciptakan warungnya makin terkenal. Terlebih ketika seorang wartawan tempat menciptakan goresan pena ihwal “Wong Solo”, makin ramai saja orang yang makan ke warungnya. Pernah suatu hari dia kewaalahan memenuhi pesanan pelanggan. Di dikala tiga ekor ayam jualannya habis, tiba pembeli lain yang bersedia menunggu asalkan Wardoyo mau mencari ayam kerikil ke pasar. Diapun memenuhi permintaan pelanggan tersebut dengan membeli tiga ekor ayam lagi. Namun tiba lagi pelanggan lain yang juga bersedia menunggu Wardoyo mencari ayam ke pasar. “Seharian itu, hingga larut malam saya pontang panting ke pasar untuk memenuhi permintaan konsumen yang terus berdatangan,” kata Wardoyo mengenang.
Bersamaan dengan bertambahnya pelanggan, dua tahun kemudian Wardoyo memperluas warungnya hingga layak disebut rumah makan. Jiwa seni Wardoyo nampak tergurat pada bentuk bangunan dan penampilannya yang cenderung “nyleneh”. Dalam bentuk bangunan, misalnya, Wardoyo tak segansegan mengeluarkan uang cukup besar untuk membayar seorang arsitek guna mewujudkan imajinasinya terhadap suatu bentuk bangunan.
Perpaduan seni dan entrepreneurship Wardoyo juga tertuang dalam pendekatan terhadap konsumen. ”Saya berusaha menghafal namanama semua pelanggan saya. Sehingga sewaktu mereka tiba saya harus menyambut mereka dengan menyebut namanya,” papar Wardoyo. Inilah yang disebutnya sebagai “menjadikan pelanggan sebagai saudara”.
Seiring dengan berkembangnya “Wong Solo”, Puspo Wardoyo membuka kesempatan kepada seluruh lapisan masyarakat untuk ikut menikmati nilai tambah Wong Solo melalui system waralaba. Untuk waralaba tersebut, Wardoyo telah menciptakan standarisasi dalam hal rasa dan gerai (outlet). Jika seseorang membeli waralaba “Wong Solo” di Jakarta, dipastikan sama rasa dan penataan gerainya dengan “Wong Solo” Medan atau di tempat lain.
Setelah sukses membesarkan “Wong Solo”, apa harapan Puspo Wardoyo selanjutnya ? Dengan sungguhsungguh dia menyahut,” Ingin terus bekerja keras, kaya raya, banyak istri, dan masuk surga.” (sumber: kerjasejahtera.blogspot.com)
Sekarang gerai Wong Solo telah berdiri hampir di kota-kota besar yang ada di Indonesia. Keuletan Puspo Wardoyo dalam membesarkan warung makan ayam bakarnya menjadi idaman masyarakat memang tidak mudah. Ia harus merasakan terlebih dahulu aneka macam cobaan, rintangan, halangan, hingga masa-masa sulit yang mencekam. Bermodalkan kesabaran, kerja keras, pantang menyerah, dan dibumbui ketaqwaan dalam menjalankan perjuangan menurut syariat Islam, tak pelak ia bisa menorehkan prestasi yang gemilang, ialah ia menerima penghargaan Enterprise-50 sebagai Waralaba Lokal Terbaik dari Pesiden RI, Megawati Soekarnoputri. Teruslah berkarya Puspo Wardoyo. Itulah kisah sukses pengusaha kuliner yang menginspirasi dan patut kita teladan untuk pengembangan bisnis kita. Salam sukses selalu!
0 komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas kunjungan kalian semua.
Silahkan tinggalkan komentar anda dengan baik dan sopan.
Silahkan berikan saran dan kritik untuk membangun blog ini jauh lebih baik.
terimakasih