Tentang pengusaha sukses yang satu ini mungkin sebagian dari kita belum pernah mendengarnya perihal perannya di dunia wirausaha. Tapi yang paling penting profil tokoh ini bisa menciptakan kita tambah semangat dalam menjalani bisnis kita. Dalam perjalanan usaha kadang dibutuhkan waktu untuk kita berguru berproses untuk menjadi pengusaha yang mandiri, tanggung dan bisa menolong banyak orang.
Saya berharap cerita perihal pengusaha sukses yang satu ini bisa membantu menemukan beberapa ide-ide untuk mempertajam langkah dalam pengambilan kepautusan di dalam dunia usaha. Terkadang kita butuh sosok orang lain yang lebih sukses sebagai panutuan dalam menemukan jati diri dalam berwirausaha. Tak usah berlama-lama lagi mari kita ikuti kisah perjalanan pengusaha sukses berikut ini.
Tjong A Fie (Guangdong, 1860-Medan, 1921) yaitu seorang pengusaha, bankir dan kapitan yang berasal dari Tiongkok dan sukses membangun bisnis besar dalam bidang perkebunan di Sumatera, Indonesia. Tjong A Fie membangun bisnis besar yang mempunyai lebih dari 10.000 orang karyawan. Karena kesuksesannya tersebut, Tjong A Fie erat dengan para kaum terpandang di Medan, di antaranya Sultan Deli, Makmun Al Rasjid serta pejabat-pejabat kolonial Belanda. Pada tahun 1911, Tjong A Fie diangkat sebagai "Kapitan Tionghoa" (Majoor der Chineezen) untuk memimpin komunitas Tionghoa di Medan, menggantikan kakaknya, Tjong Yong Hian. Sebagai pemimpin masyarakat Tionghoa, Tjong A Fie sangat dihormati dan disegani, alasannya yaitu ia menguasai bidang ekonomi dan politik. Kerajaan bisnisnya mencakup perkebunan, pabrik minyak kelapa sawit, pabrik gula, bank dan perusahaan kereta api.
Kehidupan awal
Tjong A Fie dilahirkan dengan nama Tjong Fung Nam (orang Hakka), di Sungkow, Meixian, Guangdong, (Tiongkok) pada tahun 1860.
Ia berasal dari keluarga yang sederhana. Bersama kakaknya Tjong Yong Hian (1850-1911), Tjong A Fie meninggalkan dingklik sekolah dan membantu menjaga toko ayahnya. Walaupun hanya mendapat pendidikan seadanya, tetapi Tjong A Fie sangat cerdas dan menguasai cara-cara berdagang sehingga usaha keluarganya cukup sukses.
Tjong A Fie tetapkan untuk merantau ke Hindia Belanda (Indonesia) untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Pada tahun 1875 Tjong A Fie pergi ke Medan (Sumatera Utara) untuk mengadu nasib. Saat itu ia gres berusia 18 tahun. Dengan berbekal sedikit uang, ia menyusul kakaknya, Tjong Yong Hian, yang sudah terlebih dahulu tiba ke Medan dan tinggal selama 5 tahun. Pada ketika itu kakaknya sudah menjadi kapitan (pemimpin) Tionghoa di Medan. Tjong A Fie bekerja di toko milik teman kakaknya yang berjulukan Tjong Sui Fo. Di toko tersebut, Tjong bekerja dari memegang buku, melayani pelanggan, menagih utang serta tugas-tugas lainnya. Ia dikenal pandal bergaul, tidak hanya dengan orang Tionghoa, namun juga dengan warga Melayu, Arab, India, dan orang Belanda. Ia mulai berguru berbicara dengan bahasa Melayu yang menjadi bahasa mediator masyarakat di tanah Deli.
Tjong A Fie tumbuh menjadi sosok yang tangguh, menjauhi candu, judi, mabuk-mabukan dan pelacuran. Ia menjadi pola dan menampilkan tabiat kepemimpinan yang sangat menonjol. Ia sering menjadi penengah bila terjadi cekcok antara orang Tionghoa dengan etnis lain. Di daerah perkebunan milik Belanda sering terjadi keributan di kalangan buruh yang menjadikan kekacauan dan alasannya yaitu kemampuannya, Tjong A Fie sering diminta Belanda untuk membantu mengatasi masalah-masalah tersebut. Ia kemudian diangkat menjadi Letnan Tionghoa dan pindah ke kota Medan. Karena prestasinya yang luar biasa, dalam waktu singkat Tjong A Fie naik pangkat menjadi Kapitan pada tahun 1911, untuk menggantikan kakaknya yang telah wafat. Dengan rekomendasi Sultan Deli, Tjong A Fie menjadi anggota gemeenteraad (dewan kota) dan cultuurraad (dewan kebudayaan) selain menjabat sebagai penasehat pemerintah Hindia Belanda untuk urusan Tiongkok.
Keluarga
Ketika masih berada di Tiongkok, Tjong A Fie telah menikahi seorang gadis yang bermarga Lie. Saat tiba di Deli ia menikah dengan Nona Chew dari Penang dan memilki tiga orang anak, yakni Tjong Kong Liong, Tjong Song-Jin dan Tjong Kwei-Jin. Namun istri keduanya meninggal dunia. Untuk ketiga kalinya ia menikah dengan Lim Koei Yap dari Timbang Langkat, Binjai, putri seorang mandor perkebunan tembakau di Sungai Mencirim. Bersama Lim Koei Yap, Tjong A Fie mempunyai tujuh orang anak, yakni Tjong Foek-Yin (Queeny), Tjong Fa-Liong, Tjong Khian-Liong, Tjong Kaet Liong (Munchung), Tjong Lie Liong (Kocik), Tjong See Yin (Noni) dan Tjong Tsoeng-Liong (Adek).
Membangun usaha
Di tanah Deli, Tjong A Fie menjalin kekerabatan baik dengan Sultan Deli, Makmoen Al Rasjid Perkasa Alamsyah dan Tuanku Raja Muda sehingga membuka jalan baginya untuk menjalankan usaha. Sultan memberinya konsesi penyediaan atap daun nipah untuk keperluan perkebunan tembakau untuk pembuatan bangsal.
Tjong A Fie dikenal menjadi orang Tionghoa pertama yang mempunyai perkebunan yang sangat luas. Ia menyebarkan usaha perkebunan tembakau di Deli, teh di daerah Bandar Baru, dan Si Bulan, serta perkebunan kelapa. Di Sumatera Barat, ia menanamkan modalnya di bidang pertambangan di Sawah Lunto, Bukit Tinggi. Perkebunan yang dimilikinya mempekerjakan lebih dari 10.000 orang tenaga kerja dan luas kebunnya mengalahkan luas perkebunan milik Deli Matschapaij yang dirintis oleh Jacobus Nienhuys. Bahkan, ketika itu pemerintah Belanda menawarkan 17 kebun kepadanya untuk dikelola.
Bersama kakaknya Tjong Yong Hian, Tjong A Fie berhubungan dengan Chang Pi Shih, paman sekaligus konsul Tiongkok di Singapura mendirikan perusahaan kereta api The Chow-Chow & Swatow Railyway Co.Ltd. di Tiongkok Selatan. Karena jasanya tersebut mereka berkesempatan bertemu muka dengan Ibu Suri Cixi di Beijing.
Dalam menjalankan bisnisnya, Tjong A Fie selalu mengamalkan 3 hal yakni, jujur, setia dan bersatu. Ia selau berprinsip "di mana langit dijunjung di situ bumi dipijak". Ia pun membagikan lima persen manfaatnya kepada para pekerjanya.
Akhir hayat dan wasiat
Prosesi pemakaman Tjong A Fie di Medan, 1921.
Tjong A Fie tutup usia pada tanggal 4 Februari 1921 alasannya yaitu menderita apopleksia atau pendarahan otak. Seluruh masyarakat kota Medan turut berduka, ribuan orang pelayat tiba dari kota Medan dan Sumatera Timur, Aceh, Padang, Penang, Malaya, Singapura dan Pulau Jawa. Prosesi Pemakaman Tjong A Fie berlangsung dengan megah sesuai dengan tradisi dan jabatannya.
Empat bulan sebelum menghembuskan napas terakhir, Tjong A Fie mewasiatkan semoga seluruh kekayaannya di Sumatera maupun di luar Sumatera kepada Yayasan Toen Moek Tong yang harus didirikan di Medan dan Sungkow pada ketika ia meninggal dunia. Ia menuliskan permintaanya semoga yayasan tersebut menawarkan pinjaman keuangan kepada cowok berbakat dan berkelakuan baik dan ingin menuntaskan pendidikannya, tanpa membedakan kebangsaan. Tjong juga berpesan semoga yayasan membantu mereka yang tidak bisa bekerja dengan baik alasannya yaitu cacat serta membantu para korban petaka tanpa memandang kebangsaan atau etnis.
Jasa
Tjong A Fie dikenal sangat berjasa dalam membangun kota Medan yang pada ketika itu dinamakan Deli Tua, terutama tempat pemukiman etnis Tionghoa (Kampung Tionghoa). Beberapa jasanya dalam usaha menyebarkan kota Medan yaitu menyumbangkan menara lonceng untuk Gedung Balai Kota Medan yang lama, pembangunan Istana Maimoon, Gereja Uskup Agung Sugiopranoto, Kuil Buddha di Brayan, kuil Hindu untuk warga India, Batavia Bank, Deli Bank, Jembatan Kebajikan di Jalan Zainul Arifin serta mendirikan rumah sakit Tionghoa pertama di Medan berjulukan Tjie On Jie Jan. Ia dikenal pula sebagai penggerak industri perkebunan dan transportasi kereta api pertama di Sumatera Utara, yakni Kereta Api Deli (DSM), yang menghubungkan kota Medan dengan pelabuhan Belawan.
Tjong A Fie dikenal gemar memberi dan sangat erat dengan masyarakat pribumi dan Tionghoa kota Medan sehingga ia disenangi orang-orang. Sebagai dermawan, ia banyak menyumbang untuk warga yang kurang mampu. Ia sangat menghormati warga muslim, bahkan berperan serta dalam mendirikan tempat ibadah yakni Masjid Raya Al-Mashum dan Masjid Gang Bengkok serta ikut merayakan hari-hari besar keagamaan bersama mereka. Nama Tjong A Fie pernah akan dijadikan sebagai nama sebuah jalan di kota Medan, tapi dibatalkan dan jalan itu menjadi Jalan K.H. Ahmad Dahlan. Karena sifatnya yang gemar memberi dan toleran tanpa membeda-bedakan bangsa, ras, agama dan asal-usul, Tjong A Fie senantiasa dikenang oleh warga Medan dan sekitarnya.
Rumah
Bangunan kediaman Tjong A Fie berada di Jalan Ahmad Yani, Kesawan, Medan, yang didirikan pada tahun 1900, ketika ini dijadikan sebagai Tjong A Fie Memorial Institute dan dikenal juga dengan nama Tjong A Fie Mansion. Rumah ini dibuka untuk umum pada 18 Juni 2009 untuk memperingati ulang tahun Tjong A Fie yang ke-150.
Rumah ini merupakan bangunan yang didesain dengan gaya arstitektur Tionghoa, Eropa, Melayu dan art-deco dan menjadi objek wisata bersejarah di Medan. Di rumah ini, pengunjung bisa mengetahui sejarah kehidupan Tjong A Fie lewat foto-foto, lukisan serta perabotan rumah yang dipakai oleh keluarganya serta mempelajari budaya Melayu-Tionghoa.
Dari perjalanan cerita perihal pengusaha sukses ini diperlukan ada beberapa ada sesuatu yang bisa kita ambil pelajaran dari perjuangannya. Besar impian saya untuk bisa membantu para pembaca sekalian penemukan semangat akan beriwirausaha alasannya yaitu dengan manjadi pengusaha berarti akan terbentuk kemandirian yang tahan terhadap aneka macam kondisi. Dengan banyaknya tercipta pengusaha-pengusaha gres akan menambah perbendaharaan bangsa dan segera memutar perekonomian ke arah yang lebih baik. Maju terus para pengusaha Indonesia, Salam sukses selalu!
0 komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas kunjungan kalian semua.
Silahkan tinggalkan komentar anda dengan baik dan sopan.
Silahkan berikan saran dan kritik untuk membangun blog ini jauh lebih baik.
terimakasih