Cerita pengusaha sukses sebagai perintis toko buku dan stationary terkemuka di Indonesia memang layak diberikan kepada toko buku yang satu ini. Ternyata, toko buku yang mendatangkan omzet jutaan rupiah / bulannya ini yaitu karya besar Tjio Wie Tay alias Haji Masagung sebagai pendiri yang sudah bersusah payah merintis usaha dari nol dan kini bisa bertahan disaat persaingan yang semakin memanas. Ia pun berhasil melambungkan nama toko bukunya di kancah nasional ataupun internasional.
Cerita pengusaha sukses dari tokoh ini yaitu anak ke empat dari lima bersaudara dari pasangan Tjio Koan An dan Tjoa Poppi Nio. Kerja keras dan perjuangannya patut kita tiru sebab akan menciptakan kita semakin menambah wawasan dan meningkatkan semangat untuk membuatkan usaha kita. Kisah perjalanan pengusaha sukses ini sangat menginspirasi semua orang dan saya berharap ini juga terjadi pada pembaca sekalian. Untuk lebih jelasnya mari kita ikuti perjalanan cerita pengusaha sukses ini.
Tjio Wie Tay (Haji Masagung)
Sejarah keberadaan Toko Gunung Agung, tidak lepas dari akrobat-akrobat bisnis yang dilakukan tokoh kuncinya, Tjio Wie Tay alias Haji Masagung. Terlahir sebagai anak keempat dari lima bersaudara pasangan Tjio Koan An dan Tjoa Poppi Nio, Wie Tay bergotong-royong bisa menikmati masa kecil yang indah. Ayahnya spesialis listrik tamatan Belanda, sedangkan kakek seorang pedagang ternama di tempat Pasar Baru, Bogor. Tapi kebahagiaan itu tidak dikecapi terlalu lama, sebab kala beliau berusia empat tahun, sang ayah meninggal dunia. Sejak dikala itu kehidupan ekonomi mereka menjadi sangat sulit.
Dalam buku Bapak Saya Pejuang Buku yang ditulis putranya, Ketut Masagung dan disusun kembali oleh Rita Sri Hastuti dikisahkan bahwa Wie Tay tumbuh sebagai anak badung yang suka berkelahi. Ia juga punya kebiasaan “suka mencuri” buku-buku pelajaran kakak-kakaknya untuk dijual di pasar Senen guna mendapat uang saku. Karena kenakalan ini, ia tidak bisa menuntaskan sekolah, meski sudah dikirim hingga ke Bogor dan sempat masuk di dua sekolah berbeda.
Justru sebab kenakalannya, Wie Tay tumbuh sebagai anak pemberani. Ia tidak takut berkenalan dengan siapa saja, termasuk dengan tentara Jepang yang kala itu mulai masuk ke Banten. Bahkan dari tentara Jepang, ia mendapat satu sepeda. Modal “berani” ini yang kemudian beliau bawa masuk ke dalam dunia bisnis, dan tidak bisa dipungkiri, menjadi salah satu senjata andalannya dalam menggerakkan roda bisnisnya.
Setelah diusir pamannya dari Bogor dan harus kembali ke Jakarta dikala berusia 13 tahun, Wie Tay menemukan kenyataan bahwa keadaan ekonomi ibundanya belum membaik jua. Tak ada jalan lain baginya kecuali harus mencari uang sendiri. Awalnya, ia kembali ke “kebiasaan” usang mencuri buku pelajaran kakaknya untuk dijual guna mendapat 50 sen. Setelah stok buku pelajaran habis, ia mencoba menjadi “manusia karet di panggung pertunjukkan” senam dan aerobatik. Tapi penghasilannya ternyata tidak seberapa banyak.
Pedagang Asongan
Ia kemudian banting setir menjadi pedagang rokok keliling. Di sinilah sifat beraninya mulai terlihat. Wie Tay yang digambarkan sebagai anak yang banyak kudis di kepala dan borok di kaki ini nekat menemui Lie Tay San, seorang saudagar rokok besar kala itu. Dengan modal 50 sen, ia memulai usaha menjual rokok keliling di daerah Senen dan Glodok. Di sini ia mulai rajin menabung, sebab sudah mencicipi betapa susah mencari uang. Hasil tabungannya kemudian dibelikan sebuah meja sebagai tempat berjualan di daerah Glodok. Karena belum mempunyai kios sendiri, meja tersebut dititipkan pada sebuah toko onderdil di Glodok, hingga jadinya ia bisa membuka kios di Senen.
Menjadi pedagang rokok keliling membuka mata Wie Tay cukup umur bahwa ada tempat partai rokok besar selain Lie Tay San, yaitu di Pasar Pagi. Maka, sehabis membuka kios beliau mulai membeli rokok di Pasar Pagi. Selanjutnya, Wie Tay juga berkenalan dengan The Kie Hoat, yang bekerja di perusahaan rokok Perola, salah satu merek rokok laku kala itu. The Kie Hoat kemudian dekat dengan Wie Tay dan Lie Tay San. Suatu hari, The Kie Hoat ditawari relasinya untuk mencarikan pemasaran.
Kie Hoat kemudian merundingkan dengan kedua sahabatnya tadi. Saat Lie Tay San masih ragu, Wie Tay yang masih sangat belia dalam bisnis itu malah eksklusif setuju. Ia yakin bisa cepat dijual dan mendatangkan laba besar. ternyata benar. Sayang buntutnya tidak enak. The Kie Hoat jadinya dipecat dari Perola sebab dinilai melanggar hukum perusahaan, menjual rokok ke pihak luar yang bukan distributor.
Ketiga sobat ini kemudian bergabung dan mendirikan usaha bersama berjulukan Tay San Kongsie, tahun 1945. Di sinilah awal pergulatan serius Wie Tay dalam dunia bisnis. Mereka memang masih menjual rokok, tapi melebar ke biro bir cap Burung Kenari. Pada dikala bersamaan mereka juga mulai serius berbisnis buku. Atas pemberian seorang kerabat, mereka bisa menjual buku-buku berbahasa Belanda yang diimpor dari luar. Buku-buku ternyata laku keras. Mereka berjualan di lapangan Kramat Bunder, tidak jauh dari rumah Lie Tay San. Setelah itu mereka membuka toko 3×3 meter persegi, kemudian diperluas menjadi 6×9 meter persegi. Lantaran laba dari penjualan buku sangat besar, mereka kemudian memutuskan berhenti berjualan rokok dan berkonsentrasi hanya menjual buku dan alat tulis menulis.
Tahun 1948, mereka sepakat mengukuhkan bisnis mereka dalam bentuk firma, menjadi Firma Tay San Kongsie. Saham terbesar dimiliki Lie Tay San (40%), The Kie Hoat (26,67%) dan Wie Tay (33,33%). Masagung ditunjuk memimpin perusahaan ini. Mereka kemudian membuka toko di tempat Kwitang. Ketika orang-orang Belanda hendak meninggalkan Indonesia, Wie Tay mendatangi rumah orang-orang Belanda tersebut dan meminta buku-buku bekas mereka untuk dijual dengan harga murah.
Membangun Toko Gunung Agung
Pada 13 Mei 1951, Wie Tay menikahi Hian Nio. Setelah menikah, Wie Tay berpikir untuk membuatkan usaha menjadi besar. Dia mengusulkan kepada kedua rekannya untuk menambah modal. Lie Tay San keberatan. Dia memutuskan mundur dan tetap dengan toko bukunya di lapangan Kramat Bunder, (kini Toko Buku Kramat Bundar). Sementara Masagung alias Tjio Wie Tay bersama The Kie Hoat membangun toko sendiri di Jln Kwitang No 13, kini menjadi Gedung Idayu dan Toko Walisongo. Saat itu, Kwitang masih sepi. Jangankan kios buku, toko lainnya pun belum ada. Baru ketika Wie Tay membuka toko di sana, keramaian mulai tercipta. Sejumlah gerobak buku mulai kelihatan. Sejak dikala itu Kwitang menjadi ramai.
Cukup usang Tjio Wie Tay mencari nama untuk toko barunya. Kemudian gres muncul ide untuk menerjemahkan namanya sendiri ke dalam bahasa Indonesia. Tjio Wie Tay dalam bahasa Indonesia berarti Gunung Besar atau Gunung Gede tapi Wie Tay mengubahnya menjadi Gunung Agung. Toko buku mereka berkembang pesat. Pesanan dari luar Jakarta berdatangan, tidak hanya buku tapi juga kertas stensil, kertas tik dan tinta. Melihat perkembangan ini, tercetuslah ide untuk membina usaha dengan kalangan yang dekat dengan buku, antara lain kalangan wartawan dan pengarang. Sejumlah wartawan senior kala itu ikut bergabung, termasuk sejumlah saudagar tingkat atas. Tidak heran jikalau buku-buku yang diterbitkan pada awal berdirinya yaitu buku-buku sastra goresan pena tangan para “orang dalam” tersebut. Bentuk usaha firma kemudian diubah menjadi NV.
Saat pelantikan NV Gunung Agung, Wie Tay menciptakan gebrakan dengan menggelar ekspo buku pada 8 September 1953. Dengan modal Rp 500 ribu, mereka berhasil memamerkan sekitar 10 ribu buku. Tanggal ini yang kemudian dianggap sebagai hari lahirnya Toko Gunung Agung –yang juga menjadi hari kelahiran Wie Tay sendiri. Menggelar ekspo buku, seolah menjadi “trade mark” bentuk promosi yang dilakukan Gunung Agung. Tahun 1954, Wie Tay mengadakan lagi ekspo buku tingkat nasional bertajuk Pekan Buku Indonesia 1954. Pada program inilah Wie Tay bertemu dan berkenalan dengan dua tokoh nasional yang sangat dikaguminya, yakni Bung Karno dan Bung Hatta. Bagi dia, pertemuan dengan Bung Karno yaitu hal yang menakjubkan. Selain sebagai presiden, Bung Karno yaitu tokoh yang sangat dikaguminya semenjak beliau masih kecil.
Peran Bung Karno
Sukses menyelenggarakan Pekan Buku Nasional dan kedekatannya dengan Bung Karno, menciptakan Gunung Agung dipercaya membantu pemerintah menyelenggarakan Pameran Buku di Medan dalam rangka Kongres Bahasa Indonesia pada tahun yang sama. Dari sana dilanjutkan dengan pembukaan Cabang Gunung Agung di Yogyakarta, 1955. Tahun 1956, kembali Gunung Agung diminta pemerintah menyelenggarakan ekspo buku di Malaka dan Singapura. Tahun 1963, Toko Gunung Agung sudah mempunyai sebuah gedung megah berlantai tiga di Jln Kwitang 6. Acara ulang tahun ke-10 tersebut yang diikuti dengan pelantikan gedung tersebut dihadiri eksklusif Bung Karno. Pada tahun itu juga, tepatnya 26 Agustus 1963, Wie Tay berganti nama menjadi Masagung.
Kalau padanya ditanyakan tokoh siapa yang paling kuat dalam bisnis penerbitan dan toko buku, maka Masagung niscaya akan menyebut nama Bung Karno. Ia pun selalu teringat akan pesan Bung Karno padanya. “Masagung, saya ingin saudara meneruskan aktivitas penerbitan. Ini sangat bermanfaat untuk mencerdaskan bangsa, jadi jangan ditinggalkan,” ujar Bung Karno. Seraya memeluk Masagung, Bung Karno menyerahkan kepercayaan kepada Masagung untuk menerbitkan dan memasarkan buku-bukunya semacam Di Bawah Bendera Revolusi (dua jilid), Biografi Bung Karno goresan pena wartawan AS, Cindy Adams, buku koleksi lukisan Bung Karno (lima jilid), serta sejumlah buku wacana Bung Karno lainnya. Penerbitan buku-buku Bung Karno inilah yang membawa Gunung Agung menanjak.
Bantuan Bung Karno tidak berhenti di situ. Bung Karno juga meminta Gunung Agung mengisi kebutuhan buku bagi masyarakat Irian Barat dikala Trikora. Masagung kemudian kemudian mengadakan pesta buku di Biak, Marauke, Serui, Fak Fak, Sorong, dan Manokwari. Tugas yang sama kembali diemban untuk masyarakat Riau dalam rangka Dwikora. Bukan cuma di Indonesia. Masagung juga bergairah membangun jaringan di luar negeri. Tahun 1965, beliau membuka cabang Gunung Agung di Tokyo, Jepang. Lalu mengadakan ekspo buku Indonesia di Malaysia awal 1970-an.
Ternyata, kepak sayap bisnis Masagung tidak sebatas toko buku dan penerbitan. Ia juga merambah bisnis lain . Ia tercatat mengelola bisnis ritel berhubungan dengan Departement Store Sarinah di Jln MH Thamrin, kemudian masuk ke Duty Free Shop, money changer, dan perhotelan . Itulah akrobat bisnis yang dilakukan seorang “mantan” anak jalanan. Si anak badung yang tidak tamat SD itu ternyata bisa mem-bangun kerajaan bisnis yang kokoh hingga kini. (Sumber: wikipedia.org)
Sebuah kerja keras, keberanian disertai dengan kesungguhan akan membawa keberhasilan. Demikian yang ditunjukkan oleh sosok Tjio Wie Tay alias Haji Masagung. Dulu Wie dikenal sebagai anak badung yang tidak tamat SD, tetapi dibalik kenakalan itu terpancar naluri bisnis yang tajam. Ia mampi membuiktikan, bahwa dengan tekad lingkaran dan kerja keras, jadinya ia berhasil mendirikan kerajaan bisnis yang kokoh hingga kini. Saya berharap anda bisa terinspirasi dengan kisah pengusaha sukses ini. Jaga terus semangat kewirausahaan, salam sukses selalu!
0 komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas kunjungan kalian semua.
Silahkan tinggalkan komentar anda dengan baik dan sopan.
Silahkan berikan saran dan kritik untuk membangun blog ini jauh lebih baik.
terimakasih