Profil Pengusaha Sukses Suyatmin
Furnitur kayu jati memang selalu diminati orang. Makara bagaimana cara wirausaha bonggol kayu jati ini. Apakah gampang mengolah materi bonggol menjadi kuris keluarga. Pertanyaan tersebut dijawab oleh Suyatmin, awalnya diragukan bisa memanfaatkan bonggol kayu.
Bahan kayu jati memang kuat, awet, dan mempunyai nilai ekonomi tinggi. Sayangnya kayu jati sendiri sulit didapatkan. Pohon jati hanya diminati batangnya, yang kemudian diubah menjadi aneka bentuk furnitur. Lantas dikemanakan bonggol kayu yang menjadi sisa produksi.
Suyatmin meyakinkan bahwa bonggol kayu jati sama. Memiliki kekuatan sama dibanding batang pohonnya. Ia menerangkan bisa merubah barang tidak berbentuk itu. Wirausaha bonggol jati dibawah nama bisnis Jati Barokah.
Pemilik Jati Barokah memang spesialis, cara wirausaha bonggol kayu menjadi aneka furnitur unik. Ia bisa menciptakan kuris, meja, atau dingklik teras. Pendekatan natural diterapkan Suyatmin semoga tidak memaksa merombak struktur orisinil bonggol.
Tidak Praktis Menjadi Pengusaha
Jangan memaksakan sebuah produk mengikuti kita. Alasan kenapa bonggol jati lebih bernilai tinggi. Karena sentuhan alami dibanding batangnya yang gampang dibentuk. Berbeda furnitur biasa masih kita lihat bentuk akarnya.
Dibuat mengikuti alur naturalnya, bisa dirubah menjadi furnitur atau aksesoris rumah. Produk berupa aksesoris meliput vas bunga, kursi, dan meja.
"Alam sudah membentuknya menjadi bundar dengan banyak lengkungan," ujar pengusaha ini.
Cara wirausaha bonggol jati tanpa merubah bentuk awal. Para pengrajin tinggal mengukir mengikuti alur. Berkat bisnis ini dirinya bisa menguasai pasar lokal. Dia menjual menembus pasar Bali, Yogya, Malang, Surabaya, Jakarta, Sumatra, dan Kalimantan.
Pasar ekspor mencakup Eropa Timur dan Timur Tengah. Pengusaha Suyatman sudah menggeluti ini semenjak tahun 1996. Bisnis furnitur ini bermula dari keprihatinan akan kayu jati. Bayangkan pohon yang bernilai tinggi ini, bonggol kayunya cuma berakhir menjadi kayu bakar.
Padahal secara kualitas kayu sama dengan batangnya. Sudah bergelut bisnis furnitur semenjak lama, ia pun tergelitik mengolah bonggol jati. Dia yang melihat warga sekitar Blora menggunakan itu sebagai kayu bakar. Merasa beliau harus berbuat sesuatu alasannya yaitu sayang dan itu menghasilkan uang.
Orang akan terkejut bahwa bonggol jati bisa diolah lagi. Kita harus melihat seksama sebuah duduk masalah di sekitar. Ditangan cuek Suyatmin, laki-laki 35 tahun, diubahnya bonggol menjadi meja dan kursi. Ia hanya impulsif berpikir itu alasannya yaitu mengikuti alur akar.
Pengusaha ini mengenang pribadi mengangkut. Bonggol kayu jati yang terbuat tersebut dibawa ke rumah. Toh, orang lain berpikir sebagai sampah tidak berarti lagi. Tanpa pikir panjang, wangsit produk hanya mengalir saja, diambilnya alat ukir dan dibuatlah furnitur dari sana.
Begitu selesai kemudian dibersihkan hingga bersih. Ia memplitur permukaan semoga mengkilat. Dan ternyata jadinya diluar dugaan awal. Ini lebih manis dibanding kursi kayu biasa. Ada unsur estetika saat kita melihat kursi tersebut.
Memang menghasilkan produk bernilai seni tinggi. Harga jual tentu lebih dibanding kursi biasa. Dari segi kegunaan juga bisa digunakan tidak memaksa. Lantas apa masalahnya, bagaimana cara wirausaha bonggol kayu jati ini memenuhi kebutuhan pasar.
Pengusaha Memutar Otak
Dihitung- hitung membutuhkan waktu usang pembuatan. Paling tidak satu bulan untuk menciptakan satu mebel. Apalagi tingkat kerumitan tersendiri mengukir akar. Tingkat kesulitan lebih tinggi, hingga ia harus memutar otak memenuhi kebutuhan konsumen yang tinggi.
Yang tersulit ialah saat bonggol berbentuk tidak beraturan. Ia harus memadu padankan setiap sisi menjadi bentuk. Harus sesuai pesanan juga dilarang melenceng. Butuh daya kreartifitas menciptakan pengusaha memutar otak.
Dia mengaku bersyukur alasannya yaitu Blora merupakan kawasan penghasil kayu jati. Suyatmin tak perlu pergi jauh sekedar mendapat bonggol kayu jati saja.
Harga karya Suyatmin dinilai bervariasi tergantung kesulitan. Satu set mebel dibuat selama satu bulan jikalau modelnya biasa. Harga mencapai Rp.1 juta hingga Rp.5 juta, itu cuma terdiri dua sofa kecil, satu sofa besar, dan meja.
Aneka souvenir dihargai Rp.20.000 hingga Rp.2 jutaan, dan setiap bulan omzet diraih olehnya bisa hingga Rp.70 juta. Tren bisnis bonggol kayu jati memang menjanjikan peluang. Permintaan juga tidak pernah sepi alasannya yaitu nilai estetika tersendiri.
"Sejak pertengahan 1990- an hingga sekarang seruan tumbuh," ujarnya.
Pesanan mebel begitu besar hingga menambah karyawan. Dia mengambil pegawai diluar keluarga sendiri. Memang memulai perjuangan lebih yummy jikalau didukung keluarga. Selain menyebarkan rejeki juga biar gampang kordinasi, tetapi bisnisnya tumbuh dan bersiap harus mempekerjakan setidaknya 32 orang.
Pengusaha Berbagi Rejeki
Lain lagi Achmad Zainudin, perajin asal Jeparan, yang menciptakan furnitur biasa saja dari bonggol jati. Ia sukses membangun bisnisnya, sayang, berbeda Suyatmin, ia bersusah payah mengambil kayu dari kawasan Cepu, Bojonegoro dan Purwodadi.
Oleh Zainudin, bonggol- bonggol tersebut dibuat sama menjadi kursi, meja, dan suvenir. Dia dibantu oleh 25 pekerja bisa menghasilkan 10 produk tiap minggu. Meskipun susah mencari materi baku, beliau bisa mengantungi omzet Rp.59 juta per- bulan, dan produknya tidak susah dibuat.
Produk Zainudin dijual seharga Rp.3 juta hingga Rp.6 juta tiap produknya. Kemudian ada pengusaha lain, yakni Sriyanto yang punya sedikit berbeda dari rekan- rekannya sesama perajin. Dia menentukan memproduksi fokus aksesoris bukan khusus mebel besar.
Memulai perjuangan semenjak 1995, ia mendirikan UD Kharisma, laki-laki asal Solo ini berguru menciptakan furnitur dan suplemen justru dari anak buahnya. Perajin satu ini mendapat materi bonggol kayu jatinya dari Bojonegoro dan Cepu.
Ada dua sumber tetap untuk bisnis Sriyanto . Pertama, ia mendapat kayu dari petugas perhutani. Kedua membeli materi dari petani hutan, "Saya biasanya beli dari petani alasannya yaitu harganya lebih murah," Harga jual dari petani Rp 500.000- Rp 700.000 per- bonggol, itu tergantung usia pohon.
Semakin renta usia pohon, semakin mahal harganya. Jika ditanya membeli kayu jati dari Perhutani; ia enggan alasannya yaitu harus mengantongi izin. Dari petani hutan, Sriyanto juga bisa mempelajari seluk-beluk mencari bonggol kayu jati berkualitas bagus, dan jadinya menjanjikan.
Bonggol kukuh yaitu bonggol berusia renta lebih dari 40 tahun. Biasanya bonggol- bonggol renta jikalau dihitung akan berdiameter 1,5 hingga 2 meter. Jujur sudah susah mencari materi baku menyerupai itu. Karena bisnis bonggol kayu jati sudah menjadi trend, terutama dikalangan perajin furnitur.
Bonggol- bonggol itu lantas dipotong dan dikirim ke UD Kharisma. Bila sudah dipotong baik, kayu bonggol dibawa ke UD Kharisma buat digambari bentuk. Bila bentuk sudah jadi digambar, bonggol kemudian digosok menggunakan gerinda semoga belahan lebih rapi.
Sriyanto kemudian akan menggunakan gergaji kecil untuk membentuk sudut. Saat vas ataupun tempat buah jadi bentuk, produk tersebut lantas diplitur, dan digosok hingga halus kemudian dipakaikan melamin. Ia menambahi hiasan ranting- ranting pohon, semoga tempat buah dari bonggol lebih artistik dari semula.
Adapun bentuk produknya tetap mempertahankan bentuk bonggol. Dia kemudian menjual satu tempat buah Rp 80.000. "Sebulan saya bisa menjual 150 tempat buah," katanya kepada awak media. Harga vas bunga bervariasi, dijual antara Rp 80.000 hingga Rp 100.000 per- unit.
Sriyanto memasarkan aneka kerajinan bonggol jati itu ke Jepara, Jakarta, Jogjakarta, dan Malaysia. Inlah dongeng cara wirausaha bonggol kayu jati, yang menghasilkan omzet puluhan juta.